Langsung ke konten utama

Puisi -puisi Imam Khoironi di Radar Malang


Edisi Minggu, 7 Juli 2019

Menunggu Kepulangan Ayah

hari sudah hampir penuh dengan peluh dan lelah
membasahi tiap-tiap doaku, saat melangkah menuju surau
yang jaraknya melaju ke ujung kesunyian
dan kau pun belum juga ingat waktu
dan masih mencangkuli ladang citaku

setelah matahari mengucapkan sampai jumpa dengan pepohonan
dan bulan menyampaikan selamat jalan
pada dunia yang ramai di desa
kau baru ingat kalau rumah ini punya dunianya sendiri
dan juga butuh apimu

Lampung, Juni 2019


Menunggu Ibu Pulang

tak seperti waktu yang biasa mengalir di sela-sela jemarimu
kepergianmu yang berselamat pagi pada embun itu
tak pernah mendapat sambutan cahaya pagi

lembar demi lembar rindu
terus menumpuk, tumbuh dari daun-daun kasihmu
yang perlahan gugur di taman surga

waktu yang tak kunjung menemui buntu
sedangkan kepulanganmu selalu kutunggu
di taman yang embun itu menetes dari bunga askh
yang tak bisa mengharumi rumah kita

Lampung, Juni 2019

Buruh Kata

di dalam puisi-puisiku telah hadir kelabu yang pekat
sepekat darah mengucuri luka
sekelam aokigahara, dan hutan gunung rajabasa
aku sempat bertentang dengan laut dan angin
uratku putus di tengah kepongahan masa
akankah aku harus pulang
dalam pagi-pagi yang diselimuti dinginan embun
berduyun-duyun dengan harapan menuju ladang
mengolah tanah, menanaminya cita-cita
menunggu kembang, menanti tuah
tapi tanganku tak kuasa membalik muka tanah
menjadi muka lain cita-cita bapakku
karna aku hanya buruh kata
bekerja menggunakan pena
menulis kelabu yang pekat di pagi-pagiku
sepekat awan, selebat hujan

Candipuro, 21 November 2018


Tanahku

tanahku kering, tanahku gersang
pohon dan rumput senantiasa kehausan
saban hari berteriak minta air
sampai kulit keriput dan merah terbakar

setitik sahara singgah di antara rindangnya rumah manusia

daun-daun yang gugur pagi tadi
menari bersama debu-debu dan asap kendaraan

sementara aku mengamati. duduk di pematang kolam ilusi
sembari menyeka keringat. untuk kujadikan tinta. menulis puisi
di tanah yang kering ini

Cintamulya, 01 Oktober 2018

Aku

Aku sendu yang teramat pilu
Namun penuh akan canda tawa
Aku pula sepi yang teramat sunyi
Yang akan selalu dipenuhi tanda tanya

Cintamulya, 20 September 2018

Komentar

Populer

Cerpen "Hakikat Hujan" (Kabar Madura-Senin, 17 Juni 2019)

Hakikat Hujan Matahari bersinar terik hari ini. Sinarnya menembus kulit sampai ke darah. Namun itu semua tak sedikitpun mengurangi semangat Mak Tinah dan kawan-kawannya bekerja menanam padi di sawah milik Dul Hasan, petani muda yang sangat sukses. Sementara dari jauh nampak seorang pemuda, berlari melewati tanggul kali menuju sawah milik Dul Hasan, larinya seperti anak kecil, sering kali dia terpeleset dan jatuh lalu bangkit lagi, menjadi bahan tertawaan para petani di sekitar tanggul. Dia Dul Rohim adik dari Dul Hasan yang masih berusia 18 tahun, lebih muda 5 tahun dari kakaknya. Dia berlari sambil berteriak, memanggil-manggil Mak Tinah yang sedang menanam padi di sawah. “Mak Tinah... Mak Tinah...” begitu ia memanggil wanita paruh baya yang sudah lama ditinggal mati suaminya, dan kini hidup sendiri setelah anak perempuan satu-satunya merantau ke kota. Mak Tinah melihat Rohim dengan heran, seperti ada sesuatu yang sangat ingin disampaikan Rohim sampai-sampai ia mau lari-

Puisi Imam Khoironi_Bangka Pos Edisi 8 September 2019

Mendengarkan Ricik air terbenam di wadah-wadah mendung Suaranya serupa semilir angin Menepuk daun jati yang gugur Di muka kemarau Takdir memelukku erat Hingga biduk yang kunanti tiba Aku hanya mendengarkan suara gerimis Lampung, Juli 2019 Senandung Maka beri tahu aku Ihwal lagu itu Di kalbumu senyap saja Tampak tubuhmu tak lagi menyanyi Sampai senja menelan apa saja Yang berderap di muka kota Aku tak lagi mendengar angin Yang dahulu bersemayam di lagumu Lampung, Juli 2019 Angin dan Pohon /I/ Namun sampai bila juga Hatiku akan menjemput keniscayaan Di dalam ruh yang bertebaran Kutahu angin membawa namamu Bayangmu pasti kerlip bintang, Atau teka-teki tentang pelangi Akankah ia muncul bersama gerimis Yang melambai pada berkas cahaya? /II/ Lalu sampailah kita Tanpa pertanyaan dan jawaban apa-apa Kehendak hanya datang Ia tak pernah pulang Hingga satu ketika waktu membuka Setiap rahasia dari lagumu Atau mungkin juga angin Bertengger di pepohonan