Langsung ke konten utama

Puisi Imam Khoironi | Medan Pos


Sebuah Kesaksian

Aku tak punya sejarah ataupun budaya
Untuk bisa aku catat
Dan kutulis kembali sebagai puisi
Tak seperti para penyair di luaran
Aku terdampar di negeri sendiri
Negeri kopi
Aku orang asing di negeri asing
Yang kutinggali bersama ribuan diksi
Bahasa lain,

Lampung, Juni 2019

Aku Hanya Ingin Menulis

Aku hendak menulis puisi
Puisi tentang kesendirian
Dan sepi yang menjelma sebagai kenyamanan

Aku mau merangkai sajak
Tanpa rajut atau sulaman
Benang dan jarum dalam gelas yang retak

Aku hanya ingin menulis puisi
Tentang sepi yang menjadi sekat
sekat yang menjadi jarak
jarak yang menjadi rindu
aku hanya ingin menulis
puisi tentang dirimu

Lampung, Juni 2019

Kuatren Fana

Ada yang hilang dan meninggalkan jejak-jejak kegundahan
Ada yang pulang dan memboyong segala isi di lemari
Ada yang pergi dan membawa serta kerinduan dan sakit hati
Ada yang datang dan mengisi waktu, mengiringi selam namun tak abadi

Lampung, Juni 2019

Doa Sebelum Tidur

Wajah kubasuh, niat kurengkuh
Segenap jiwa dan hati semoga teduh
Biarkan harapan di siang terikku
Menjadi rangkai adegan dalam mimpiku

Bayangan akan pengkultusan malam
Sebagai harta bisa kutukar dengan emas
Atau sebagai rumah bagi doa-doa
Yang belum sempat diutus karena
Diabaikan di hari-hari yang penuh pengkultusan diri
Pada mimpi-mimpi

Lampung, Juli 2019
Aku Masih Belum Bisa Tidur

Aku masih terjaga,
Malam sudah menuju puncak keabadian sunyi
Dan aku masih belum bisa memejamkan mata
Aku berharap ada seorang wanita
Yang mau menina-bobokan aku
Hingga cahaya bulan yang merasuk pada celah kayu padam
Hingga suara gagak yang menjemput kematian itu tak lagi kudengar

Aku masih belum bisa tidur
Seluruh sistem di otak bodohku
Masih terjaga,
Aku masih memikirkan tentang,
Bagaimana orang-orang bisa hidup
Dari serangkaian kata abstrak
Yang mereka rajut sendiri?
Sama seperti penjahit yang menjahit tiap benang
Pada sajaknya, yang berupa kain panjang
April 2019

*TERBIT PADA 27 OKTOBER 2019

Komentar

Populer

Puisi -puisi Imam Khoironi di Radar Malang

Edisi Minggu, 7 Juli 2019 Menunggu Kepulangan Ayah hari sudah hampir penuh dengan peluh dan lelah membasahi tiap-tiap doaku, saat melangkah menuju surau yang jaraknya melaju ke ujung kesunyian dan kau pun belum juga ingat waktu dan masih mencangkuli ladang citaku setelah matahari mengucapkan sampai jumpa dengan pepohonan dan bulan menyampaikan selamat jalan pada dunia yang ramai di desa kau baru ingat kalau rumah ini punya dunianya sendiri dan juga butuh apimu Lampung, Juni 2019 Menunggu Ibu Pulang tak seperti waktu yang biasa mengalir di sela-sela jemarimu kepergianmu yang berselamat pagi pada embun itu tak pernah mendapat sambutan cahaya pagi lembar demi lembar rindu terus menumpuk, tumbuh dari daun-daun kasihmu yang perlahan gugur di taman surga waktu yang tak kunjung menemui buntu sedangkan kepulanganmu selalu kutunggu di taman yang embun itu menetes dari bunga askh yang tak bisa mengharumi rumah kita Lampung,

Cerpen "Hakikat Hujan" (Kabar Madura-Senin, 17 Juni 2019)

Hakikat Hujan Matahari bersinar terik hari ini. Sinarnya menembus kulit sampai ke darah. Namun itu semua tak sedikitpun mengurangi semangat Mak Tinah dan kawan-kawannya bekerja menanam padi di sawah milik Dul Hasan, petani muda yang sangat sukses. Sementara dari jauh nampak seorang pemuda, berlari melewati tanggul kali menuju sawah milik Dul Hasan, larinya seperti anak kecil, sering kali dia terpeleset dan jatuh lalu bangkit lagi, menjadi bahan tertawaan para petani di sekitar tanggul. Dia Dul Rohim adik dari Dul Hasan yang masih berusia 18 tahun, lebih muda 5 tahun dari kakaknya. Dia berlari sambil berteriak, memanggil-manggil Mak Tinah yang sedang menanam padi di sawah. “Mak Tinah... Mak Tinah...” begitu ia memanggil wanita paruh baya yang sudah lama ditinggal mati suaminya, dan kini hidup sendiri setelah anak perempuan satu-satunya merantau ke kota. Mak Tinah melihat Rohim dengan heran, seperti ada sesuatu yang sangat ingin disampaikan Rohim sampai-sampai ia mau lari-

Puisi Imam Khoironi_Bangka Pos Edisi 8 September 2019

Mendengarkan Ricik air terbenam di wadah-wadah mendung Suaranya serupa semilir angin Menepuk daun jati yang gugur Di muka kemarau Takdir memelukku erat Hingga biduk yang kunanti tiba Aku hanya mendengarkan suara gerimis Lampung, Juli 2019 Senandung Maka beri tahu aku Ihwal lagu itu Di kalbumu senyap saja Tampak tubuhmu tak lagi menyanyi Sampai senja menelan apa saja Yang berderap di muka kota Aku tak lagi mendengar angin Yang dahulu bersemayam di lagumu Lampung, Juli 2019 Angin dan Pohon /I/ Namun sampai bila juga Hatiku akan menjemput keniscayaan Di dalam ruh yang bertebaran Kutahu angin membawa namamu Bayangmu pasti kerlip bintang, Atau teka-teki tentang pelangi Akankah ia muncul bersama gerimis Yang melambai pada berkas cahaya? /II/ Lalu sampailah kita Tanpa pertanyaan dan jawaban apa-apa Kehendak hanya datang Ia tak pernah pulang Hingga satu ketika waktu membuka Setiap rahasia dari lagumu Atau mungkin juga angin Bertengger di pepohonan