Langsung ke konten utama

Puisi Imam Khoironi | Radar Tasikmalaya


Selamat Hari Puisi Nasional
Mari Berpuisi Untuk Indonesia yang Lebih bersemi
#Dirumahaja #Bacapuisi #Bersastrauntuknegeri    
Di Dapur

Matahari belum gegap, ufuk timur masih senyap.
Pagi masih berhutang dengan malam,
Ia melunasinya kali ini
Tapi kulihat di dapur, cahaya dari sudut lain semarak.
Cahaya dari api di tungku penghidupan

Suara wajan yang beradu dengan pedang,
menggiring anak-anak ayam mewarta, pada induk mereka

Namun, sebelum kayu bakar benar-benar menjelma bara
Sebelum asap diserap daun-daun pagi
Sebelum air di dalam panci, bergemuruh
Sebelum seluruh batu bata di dapur, menghitam
Sebelum aku mengerang karena maag,
Suara Ibu sudah masak di daun telinga
mendoa buatku, membangunkanku

Candipuro, 26 Maret 2019

Lekang

Aku akan terima segala ucapan
Bermula saat kedatangan
Hingga akhirnya bertemu selamat tinggal,
Selamat jalan dan sampai jumpa.

Pada setiap jumpa, kita akan mencari
Waktu untuk berpulang
Meski satu dari yang lain
Tak merelakan kepergian

Hidup kita akan lekang, tapi
Jumpa kita akan terkenang
Sampai jumpa
Tetapkan selamat dalam perjalanan,
Yang akan datang, mengakhiri pertemuan
Yang akan lekang tergerus zaman

PPHM, Februari 2019

Doa Butir Rindu

Biarkan kalamku menggapaimu
dengan penuh keheningan tengah malam
berderap melalui jalan sunyi
membutir jatuh sebagai rindu
tepat pada sukmamu
menyatu dalam darahmu
mengalir menjadi doa
sampai merasuk ke dalam kalbumu

Cintamulya, 18 November 2018



Dalam Hutan Penyesalan

Tak ada duka yang tak bisa disemai
Tak ada janji yang tak bisa diingkari
Tak ada luka yang bisa diobati

Pohon-pohon harapan meranggas,
Hujan pulang ke langit
Dan aku ada di tempat sesuram itu
menyusuri penyesalan
Candipuro, April 2019

Kalender

Memulai terasa berat untuk berucap
Sanggah sempat sekejap turun dan lari lagi
Entah milik siapa, tahun ini
Bukan punya gelak tawa, ataupun nestapa
Atau siapa-siapa
Lampung Selatan, 2018

Sajak Layar Kapal

Dibentang membuat jauh
Sebab, beberapa angin menampar di hadap
Memaksakan gelombang memecah air laut
Lampung, 2018

Ihwal Senja

Tertawan oleh manisnya senja
Nampak di dekat ada bercak bahagia
Dia duduk menyandar pada harianku
Tak banyak namun cukup
Memilikinya aku sudah
Dan bahagiaku menggairah
Lampung, 2018
Wanita di Tepi Malam Itu

Sehembus tanya melintas di depan diamku
Siapakah wanita di tepi jalan seberang itu
Melambai pada setiap mata yang
Bersembunyi di balik suramnya kaca kereta
Aku berpikir, mungkinkah jika jiwaku
Aku umbar, sebelum fajar aku takkan pulang?
Ingin sekali kulumat nasibnya
Menghirup setiap jengkal desahan malam
Namun aku baru saja usai bersujud, di barisan surau
Wudhuku belum habis diserap bulan
Lalu pantaskah aku mendiami api
Yang tengah disuguhkan
Wanita, di tepi malam itu?

Lampung, 31 Maret 2019

Terbit 8 September 2019

Komentar

Populer

Puisi -puisi Imam Khoironi di Radar Malang

Edisi Minggu, 7 Juli 2019 Menunggu Kepulangan Ayah hari sudah hampir penuh dengan peluh dan lelah membasahi tiap-tiap doaku, saat melangkah menuju surau yang jaraknya melaju ke ujung kesunyian dan kau pun belum juga ingat waktu dan masih mencangkuli ladang citaku setelah matahari mengucapkan sampai jumpa dengan pepohonan dan bulan menyampaikan selamat jalan pada dunia yang ramai di desa kau baru ingat kalau rumah ini punya dunianya sendiri dan juga butuh apimu Lampung, Juni 2019 Menunggu Ibu Pulang tak seperti waktu yang biasa mengalir di sela-sela jemarimu kepergianmu yang berselamat pagi pada embun itu tak pernah mendapat sambutan cahaya pagi lembar demi lembar rindu terus menumpuk, tumbuh dari daun-daun kasihmu yang perlahan gugur di taman surga waktu yang tak kunjung menemui buntu sedangkan kepulanganmu selalu kutunggu di taman yang embun itu menetes dari bunga askh yang tak bisa mengharumi rumah kita Lampung,

Cerpen "Hakikat Hujan" (Kabar Madura-Senin, 17 Juni 2019)

Hakikat Hujan Matahari bersinar terik hari ini. Sinarnya menembus kulit sampai ke darah. Namun itu semua tak sedikitpun mengurangi semangat Mak Tinah dan kawan-kawannya bekerja menanam padi di sawah milik Dul Hasan, petani muda yang sangat sukses. Sementara dari jauh nampak seorang pemuda, berlari melewati tanggul kali menuju sawah milik Dul Hasan, larinya seperti anak kecil, sering kali dia terpeleset dan jatuh lalu bangkit lagi, menjadi bahan tertawaan para petani di sekitar tanggul. Dia Dul Rohim adik dari Dul Hasan yang masih berusia 18 tahun, lebih muda 5 tahun dari kakaknya. Dia berlari sambil berteriak, memanggil-manggil Mak Tinah yang sedang menanam padi di sawah. “Mak Tinah... Mak Tinah...” begitu ia memanggil wanita paruh baya yang sudah lama ditinggal mati suaminya, dan kini hidup sendiri setelah anak perempuan satu-satunya merantau ke kota. Mak Tinah melihat Rohim dengan heran, seperti ada sesuatu yang sangat ingin disampaikan Rohim sampai-sampai ia mau lari-

Puisi Imam Khoironi_Bangka Pos Edisi 8 September 2019

Mendengarkan Ricik air terbenam di wadah-wadah mendung Suaranya serupa semilir angin Menepuk daun jati yang gugur Di muka kemarau Takdir memelukku erat Hingga biduk yang kunanti tiba Aku hanya mendengarkan suara gerimis Lampung, Juli 2019 Senandung Maka beri tahu aku Ihwal lagu itu Di kalbumu senyap saja Tampak tubuhmu tak lagi menyanyi Sampai senja menelan apa saja Yang berderap di muka kota Aku tak lagi mendengar angin Yang dahulu bersemayam di lagumu Lampung, Juli 2019 Angin dan Pohon /I/ Namun sampai bila juga Hatiku akan menjemput keniscayaan Di dalam ruh yang bertebaran Kutahu angin membawa namamu Bayangmu pasti kerlip bintang, Atau teka-teki tentang pelangi Akankah ia muncul bersama gerimis Yang melambai pada berkas cahaya? /II/ Lalu sampailah kita Tanpa pertanyaan dan jawaban apa-apa Kehendak hanya datang Ia tak pernah pulang Hingga satu ketika waktu membuka Setiap rahasia dari lagumu Atau mungkin juga angin Bertengger di pepohonan