Langsung ke konten utama

Cerpen "Darah Daging" | Medan Pos


Darah Daging

Terbit pada 2 Februari 2020


Menyepi suasana rumah itu sekarang, setelah ditinggal salah satu penghuninya. Rumah sederhana itu kini cuma ada 2 manusia berteduh disana. Seorang anak laki-laki dengan ibunya.
Siang itu terdengar suara seorang anak laki-laki masuk kerumah itu dan memanggil – manggil ibunya “Ibu... Ibu... Ibu...” sembari menangis tersedu – sedu.
“Ada apa nak? Mengapa kau menangis?”  Maisaroh kaget melihat putranya masuk rumah sambil menangis.
“Apakah semua orang di komplek rumah kita sudah lupa dengan namaku? Sehingga mereka memanggilku Topik , itu kan nama ayah,” ujar Ardan dengan nada kebingungan, masih sambil menangis.
Dengan santai Maisaroh menjawab pertanyaan anaknya “Jadi hanya karena itu jagoan ibu menangis, lalu apakah kau mau tau mengapa mereka memanggilmu dengan nama almarhum ayahmu?”
Ardan tidak menjawab, dia hanya menganggukan kepala dengan masih diiringi senggukan. Kemudian Maisaroh berjalan meninggalkan Ardan, menuju sebuah kamar yang jarang sekali dibuka, kamar itu hanya dibuka ketika hendak dibersihkan saja. Didalam kamar itu terdapat sebuah buku album yang berisi foto tentang anggota keluarga, termasuk almarhum Topik. Maisaroh mengambil sebuah foto untuk diperlihatkan pada Ardan. Foto itu adalah foto alm Topik ketika berumur 12 tahun, persis seperti usia Ardan sekarang.
“Coba lihatlah foto ini, lalu bandingkan dengan rupamu !”
Dengan rasa penasaran tinggi setelah melihat foto itu, Ardan pun bertanya perihal siapa anak yang ada pada foto itu, mengapa begitu mirip dengan dirinya.
“Siapa anak di foto ini bu?”
“Jangan terkejut kalau itu adalah foto alm ayahmu, kau memang sangat mirip dengannya, bukan saja rupa, bahkan cara bicaramu dan tingkah lakumu pun persis seperti dia, itulah kenapa banyak orang yang mengenal ayah sejak kecil memanggil kau Topik,” Jelas Maisaroh pada Ardan.
Dengan wajah agak memerah Ardan mencoba membela diri “Tapi akukan punya nama sendiri bu, Ardan namaku. Aku tak mau dipanggil dengan nama itu.”
“Apakah kau malu mempunyai ayah yang bernama Topik, apakah sehina itu nama alm ayahmu, sampai-sampai kau menangis dan marah setelah ada orang memanggil kau dengan nama Topik?” Tanya Maisaroh sedikit kesal pada anaknya.
Anak laki-laki itupun terkejut melihat ibunya membentaknya, ini adalah kali pertama dia dibentak dengan keras oleh ibunya, hanya karena masalah nama.
Siang kini sudah meninggalkan mereka, berganti senja yang perlahan menelan mentari, suasana rumah itu masih saja sunyi, apalagi dua penghuninya kini masih enggan bertatap setelah peristiwa siang tadi.
Sebagai yang lebih tua Maisaroh mencoba mendekati Ardan dan menanyakan perihal kenapa dia menangis siang tadi, sebab tidak mungkin hanya karena dipanggil Topik, anaknya menangis. Anaknya adalah anak yang pemberani dan sangat jarang menangis. Apalagi hanya karena masalah sepele. Maisaroh menduga ada masalah yang lebih besar dari itu, yang membuat anak laki-lakinya menangis.
“Ardan... Nak buka pintunya, Ibu mau bicara.”
“Apa Ibu akan memarahiku lagi?”
“Tidak, Nak. Ibu tidak akan memarahimu lagi.”
Maisaroh yang penasaran kembali bertanya, kenapa anak laki-lakinya itu menangis siang tadi. “Nak sebenarnya apa yang terjadi siang tadi, apa yang sebenarnya membuatmu sampai menangis, padahal sebelumnya kau tidak pernah menangis?”
“Sebenarnya tadi siang aku memang kesal karena dipanggil dengan nama ayah, tapi yang membuat aku menangis adalah perkataan ayahnya Jojo yang mengatakan bahwa aku adalah anak penjahat yang meninggal karena ditembak polisi.”
Maisaroh diam, dia terkejut mendengar cerita anaknya, karena sekarang anaknya tau bahwa ayahnya adalah seorang penjahat, namun dia juga terkejut oleh perkataan ayah Jojo yang mengatakan bahwa Topik mati ditembak polisi, padahal faktanya Topik mati karena kecelakaan saat perjalanan dari penjara untuk pulang ke rumah. Topik sudahlah bertobat ketika dia masih dipenjara, dia tak mau anaknya kelak mengikuti jejaknya. Saat ia meninggal Ardan masih berusia 6 bulan.
“Ibu, kenapa ibu diam, apakah itu semua benar? Apakah aku ini benar anak penjahat?” Tanya Ardan dengan penuh rasa penasaran.
“Nak, perkataan ayah Jojo memang ada benarnya, tapi ayahmu tak seburuk itu, dia memang pernah sekali mencuri, dan itupun karena terpaksa, tapi itu dulu sebelum ada kau, ayahmu sudah insaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi, saat ia di penjara dia sangatlah menyesal telah melakukan itu, dia tidak mau anaknya nanti mengikuti jejaknya, dia mau kejahatan yang dia lakukan adalah yang pertama dan terakhir dalam kehidupannya dan keluarganya.”
“Apakah dulunya ayah orang yang baik, Bu?”
Pertanyaan yang benar-benar menggugah Maisaroh, dengan penuh ketenangan Maisaroh menjelaskan pada anaknya.
“Nak, kalau saja dulu ayah tak berteman dengan  ayah Jojo, mungkin dia tak akan pernah mencuri, Nak. Ayah Jojolah yang sebenarnya menghasut ayah untuk mencuri, karena saat itu keluarga kita sedang dililit hutang. Tapi, Nak. Ingatlah satu hal, seburuk-buruknya ayah jika dia sayang pada keluarga dan anaknya dia pasti akan melakukan yang terbaik untuk anaknya, karena orang tua yang benar-benar sayang pada anaknya meskipun orang tua itu buruk dia tidak akan membiarkan anaknya menjadi buruk seperti dia, dan itulah yang dilakukan oleh ayahmu.”
“Jadi begitu. Ibu besok antarkan aku ke makam ayah ya. Aku ingin berdoa disana agar ayah diampuni Tuhan, dan bisa masuk surga.”
Maisaroh hanya tersenyum menanggapi permintaan anaknya. Kemudian memeluk Ardan dan membisikan sesuatu ke telinga Ardan
“Maafkan ayahmu ya, Nak. Dia harusnya ada di antara kita, menjagamu, melindungi kita.”
Ardan tak menjawab, dia hanya menatap wajah Maisaroh yang berkaca-kaca yang kemudian meneteskan air mata dan jatuh ke pipi Ardan. Sambil tersedu-sedu Maisaroh menyeka air matanya di pipi Ardan sembari mengatakan,
“Kelak, jadilah engkau laki-laki yang pemberani dalam segala, tapi bertanggung jawab atas itu semua adalah hal yang terpenting.”
Mendengar hal itu Ardan hanya mengangguk, dan kembali memeluk ibunya, Maisaroh. Maisaroh yang masih berair mata mengeratkan pelukan itu. Menjadikan suasana di rumah itu jadi penuh kehangatan Ibu dan anak laki-lakinya, dari yang awalnya beku.
Sore itu pun berakhir dengan berkas Topik di hati Maisaroh dan juga Ardan, air mata itu seakan mengembalikan ruh Topik ke rumah, membuat tenang, hening dan penuh kesan serta membunuh rasa cemas dan penasaran Ardan.

Lampung, 2018

Komentar

Populer

Puisi -puisi Imam Khoironi di Radar Malang

Edisi Minggu, 7 Juli 2019 Menunggu Kepulangan Ayah hari sudah hampir penuh dengan peluh dan lelah membasahi tiap-tiap doaku, saat melangkah menuju surau yang jaraknya melaju ke ujung kesunyian dan kau pun belum juga ingat waktu dan masih mencangkuli ladang citaku setelah matahari mengucapkan sampai jumpa dengan pepohonan dan bulan menyampaikan selamat jalan pada dunia yang ramai di desa kau baru ingat kalau rumah ini punya dunianya sendiri dan juga butuh apimu Lampung, Juni 2019 Menunggu Ibu Pulang tak seperti waktu yang biasa mengalir di sela-sela jemarimu kepergianmu yang berselamat pagi pada embun itu tak pernah mendapat sambutan cahaya pagi lembar demi lembar rindu terus menumpuk, tumbuh dari daun-daun kasihmu yang perlahan gugur di taman surga waktu yang tak kunjung menemui buntu sedangkan kepulanganmu selalu kutunggu di taman yang embun itu menetes dari bunga askh yang tak bisa mengharumi rumah kita Lampung,

Cerpen "Hakikat Hujan" (Kabar Madura-Senin, 17 Juni 2019)

Hakikat Hujan Matahari bersinar terik hari ini. Sinarnya menembus kulit sampai ke darah. Namun itu semua tak sedikitpun mengurangi semangat Mak Tinah dan kawan-kawannya bekerja menanam padi di sawah milik Dul Hasan, petani muda yang sangat sukses. Sementara dari jauh nampak seorang pemuda, berlari melewati tanggul kali menuju sawah milik Dul Hasan, larinya seperti anak kecil, sering kali dia terpeleset dan jatuh lalu bangkit lagi, menjadi bahan tertawaan para petani di sekitar tanggul. Dia Dul Rohim adik dari Dul Hasan yang masih berusia 18 tahun, lebih muda 5 tahun dari kakaknya. Dia berlari sambil berteriak, memanggil-manggil Mak Tinah yang sedang menanam padi di sawah. “Mak Tinah... Mak Tinah...” begitu ia memanggil wanita paruh baya yang sudah lama ditinggal mati suaminya, dan kini hidup sendiri setelah anak perempuan satu-satunya merantau ke kota. Mak Tinah melihat Rohim dengan heran, seperti ada sesuatu yang sangat ingin disampaikan Rohim sampai-sampai ia mau lari-

Puisi Imam Khoironi_Bangka Pos Edisi 8 September 2019

Mendengarkan Ricik air terbenam di wadah-wadah mendung Suaranya serupa semilir angin Menepuk daun jati yang gugur Di muka kemarau Takdir memelukku erat Hingga biduk yang kunanti tiba Aku hanya mendengarkan suara gerimis Lampung, Juli 2019 Senandung Maka beri tahu aku Ihwal lagu itu Di kalbumu senyap saja Tampak tubuhmu tak lagi menyanyi Sampai senja menelan apa saja Yang berderap di muka kota Aku tak lagi mendengar angin Yang dahulu bersemayam di lagumu Lampung, Juli 2019 Angin dan Pohon /I/ Namun sampai bila juga Hatiku akan menjemput keniscayaan Di dalam ruh yang bertebaran Kutahu angin membawa namamu Bayangmu pasti kerlip bintang, Atau teka-teki tentang pelangi Akankah ia muncul bersama gerimis Yang melambai pada berkas cahaya? /II/ Lalu sampailah kita Tanpa pertanyaan dan jawaban apa-apa Kehendak hanya datang Ia tak pernah pulang Hingga satu ketika waktu membuka Setiap rahasia dari lagumu Atau mungkin juga angin Bertengger di pepohonan