Hakikat Hujan
Matahari bersinar terik hari ini. Sinarnya menembus kulit
sampai ke darah. Namun itu semua tak sedikitpun mengurangi semangat Mak Tinah
dan kawan-kawannya bekerja menanam padi di sawah milik Dul Hasan, petani muda
yang sangat sukses.
Sementara dari jauh nampak seorang pemuda, berlari
melewati tanggul kali menuju sawah milik Dul Hasan, larinya seperti anak kecil,
sering kali dia terpeleset dan jatuh lalu bangkit lagi, menjadi bahan tertawaan
para petani di sekitar tanggul. Dia Dul Rohim adik dari Dul Hasan yang masih
berusia 18 tahun, lebih muda 5 tahun dari kakaknya. Dia berlari sambil
berteriak, memanggil-manggil Mak Tinah yang sedang menanam padi di sawah.
“Mak Tinah... Mak Tinah...” begitu ia memanggil wanita
paruh baya yang sudah lama ditinggal mati suaminya, dan kini hidup sendiri
setelah anak perempuan satu-satunya merantau ke kota.
Mak Tinah melihat Rohim dengan heran, seperti ada sesuatu
yang sangat ingin disampaikan Rohim sampai-sampai ia mau lari-larian di atas
pematang kali.
“Hah, hah, Mak, Mak Tinah, hah,”
ucap lelaki kurus itu dengan mengap-mengap. Nafasnya masih berantakan setelah
berlari dan beberapa kali ia juga terbatuk-batuk saking sengalnya.
“Nafas dulu, Dul Rohim,” ujar Mak Tinah mengingatkan.
Semua orang yang melihatnya tertawa geli melihat Dul
Rohim yang seperti ikan kehabisan oksigen. Setelah menghela dan mengatur
nafasnya, Dul Rohim lalu mengutarakan maksud kedatangannya menemui Mak Tinah
yang sedang bekerja.
“Mak, anakmu Wati datang, dia pulang dari kota. Dia naik
mobil sedan, dandanannya sudah macam artis di Indosiar itu, sopirnya tampan
lagi macam Dude Herlino, Mak.” Dul Rohim menjelaskan apa yang ia lihat saat
melewati rumah Mak Tinah ketika ia berjalan menuju warung.
“Yang benar kamu, Him. Jangan bohong sama orang tua
kamu,” tegur Dul Hasan, kakaknya.
“Mana mungkin aku bohong, aku kan orang paling jujur di
sini,” balas Dul Rohim.
“Alhamdulillah, pulang juga putriku. Kalau begitu
ayo antarkan Mak pulang,” ucap Mak Tinah penuh syukur sumringah.
“Ayo, Mak. Kuantar pulang.” Dul Rohim pasang badan
menawari Mak Tinah.
“Heh, kamu mau antar Mak Tinah pakai apa? Pakai
punggung?” ledek Mak Siyam diikuti tawa para pekerja di sawah. Dul Rohim nampak
kesal mendengar ledekan Mak Siyam.
“Kamu pulang jalan kaki saja, biar aku yang antar Mak
Tinah pulang, naik motor,” tukas Dul Hasan, mengecewakan Dul Rohim yang harus
terima, dia pulang naik sandal jepitnya.
Sesampainya di rumah Mak Tinah, suasana seketika hening
bercampur haru-bahagia. Wati segera menghampiri Mak Tinah, memeluk dan mencium
wanita yang masih diliputi bau keringat dan bau lumpur. Tapi Wati sepertinya tidak
peduli dengan segala keadaan Ibunya, yang sudah berpisah dengannya selama 5
tahun. Dia menangis, melepas rindu.
Mak Tinah pun larut pula dalam suasana haru, ia menangis
dan menangis. Terik matahari dihiraukan, udara panas diabaikan. Semuanya larut
dalam airmata sepasang ibu dan anak itu.
“Wati, Mak kangen sekali denganmu, Nak. Kenapa kamu baru
pulang? Bagaimana kabarmu di kota?” ungkapan Mak Tinah meluapkan kerinduannya.
“Wati juga kangen sama, Mak. Maafin Wati, Wati jarang
beri kabar, tak pernah pulang. Tapi, Alhamdulillah Wati baik-baik saja
di sana.”
“Alhamdulillah kalau kau baik-baik saja. Tapi
sekarang penampilanmu berbeda, kau sudah jadi orang kota sekarang.”
“Ah Mak, biasa saja. Cuma sedikit saja berubahnya,” ucap
Wati dengan tersenyum.
“Sedikit, sedikit, tapi kan lama, Nak. Jadilah banyak.”
Canda tawa mereka menghapus air mata kedua manusia itu.
Sedangkan Dul Hasan, akhirnya berpamitan dengan Mak Tinah dan Wati, serta orang
yang mengantarkan Wati untuk kembali ke sawah, setelah beberapa lama berbincang
dengan ketiganya di rumah Mak Tinah.
***
Sore hari, setelah makan. Wati menghampiri Mak Tinah di
dapur, sedang mencuci piring. Dia seperti ingin mengutarakan sesuatu.
“Mak, sini Wati bantu,” tegur Wati.
“Eh, nggak usah. Kamu kan tamu sekarang, dan Mak tak mau
merepotkan tamu,” ujar Mak Tinah melarang.
“Ah Mak bisa saja, ini kan rumah Mak, jadi rumahku juga.
Masa ada tamu mertamu di rumah sendiri,” kata Wati menimpali.
“Tapi kan kamu baru datang dari kota, Mak nggak mau
merepotkan kamu. Kamu istirahat saja di depan, temani orang itu,” ujar Mak
Tinah memberi saran.
“Iya, Mak. Tapi aku mau bicara sesuatu ke Emak. Sesuatu
yang mendasari kedatanganku ke sini,” ucap Wati.
“Kamu mau bicara apa, sepertinya penting sekali.”
“Aku ingin menikah, Mak.”
“Kamu ingin menikah? Pas sekali, Mak memang ingin
menjodohkan kamu sama Dul Hasan, tapi kamu tidak pernah pulang.”
“Apa? Dul Hasan yang tadi mengantarkan Mak pulang?”
“Iya siapa lagi? Dia orang baik, petani sukses, wajahnya
pun lumayan tampan. Mak kira dia cocok sama kamu.”
“Memang dia orang baik, tapi dia tak pantas buatku, Mak,”
Maksudmu? Apa yang kamu maksud tak pantas?”
Wati menceritakan semuanya pada Mak Tinah, segala
kejadian yang menjadi kisah penuh intrik seorang wanita perantau. Pemuda yang
mengantarkan Wati pun ikut angkat bicara perihal kedatangannya ke rumah Mak
Tinah. Dia punya maksud yang bahkan Mak Tinah pun tak menduga bahwa ia adalah
orang dibalik ketegaran putrinya.
“Maksud kedatangan saya selain dari mengantarkan putri
semata wayang Ibu pulang, adalah ingin meminta doa dan restu dari Ibu, selaku
orang tua dari Wati. Saya mencintainya, Bu. Betapapun keadaannya sudah berbadan
dua dan meskipun itu bukan anak saya, saya menerimanya, saya cinta Wati, Bu.”
Begitulah kira-kira ucapan Wawan menyampaikan maksud kedatangannya menemui Mak
Tinah.
Mendengar suara dan keberanian serta keikhlasan Wawan
yang begitu bulat bak bola mata yang sekarang sedang meluap air mata, Mak Tinah
bergetar hatinya. Mak Tinah bisu, Wati juga diam, udara beku, angin hilang.
“Kenapa kamu mau menikahi putriku yang kamu tahu sudah
bunting anak orang lain?” tanya Mak Tinah menegaskan keyakinan.
“Mak, buat saya, bagaimanapun keadaan Wati saya tetap
akan menerimanya sepenuh hati dan seteguh jiwa, setegak raga. Setiap orang
punya masa lalu, kelam atau cerah semuanya sama, sudah berakhir. Lagi pula, itu
bukan sepenuhnya kesalahan Wati, ia dijebak. Tapi kalau Ibu meminta alasan,
alasan saya hanya satu, dia mau berubah dan ia bisa bertahan di situasi seperti
itu.”
Mak Tinah kemudian memeluk Wati dan berkata,
“Hujan pasti datang, Nak. Yang harus kau siapkan lebih
dulu bukan payung, tapi benih. Hujan bisa saja menyakiti, tapi benihmu pasti
tumbuh. Karena itu, maka Mak merestui kalian. Tapi satu hal yang harus kalian
ingat, betapa derasnya hujan, satu-satunya yang bisa mencegah ia menimpamu di luaran
adalah payung, maka berteduhlah.”
Lampung, April 2019
Komentar
Posting Komentar