Langsung ke konten utama

Cerpen "Hakikat Hujan" (Kabar Madura-Senin, 17 Juni 2019)


Hakikat Hujan


Matahari bersinar terik hari ini. Sinarnya menembus kulit sampai ke darah. Namun itu semua tak sedikitpun mengurangi semangat Mak Tinah dan kawan-kawannya bekerja menanam padi di sawah milik Dul Hasan, petani muda yang sangat sukses.
Sementara dari jauh nampak seorang pemuda, berlari melewati tanggul kali menuju sawah milik Dul Hasan, larinya seperti anak kecil, sering kali dia terpeleset dan jatuh lalu bangkit lagi, menjadi bahan tertawaan para petani di sekitar tanggul. Dia Dul Rohim adik dari Dul Hasan yang masih berusia 18 tahun, lebih muda 5 tahun dari kakaknya. Dia berlari sambil berteriak, memanggil-manggil Mak Tinah yang sedang menanam padi di sawah.
“Mak Tinah... Mak Tinah...” begitu ia memanggil wanita paruh baya yang sudah lama ditinggal mati suaminya, dan kini hidup sendiri setelah anak perempuan satu-satunya merantau ke kota.
Mak Tinah melihat Rohim dengan heran, seperti ada sesuatu yang sangat ingin disampaikan Rohim sampai-sampai ia mau lari-larian di atas pematang kali.
Hah, hah, Mak, Mak Tinah, hah,” ucap lelaki kurus itu dengan mengap-mengap. Nafasnya masih berantakan setelah berlari dan beberapa kali ia juga terbatuk-batuk saking sengalnya.
“Nafas dulu, Dul Rohim,” ujar Mak Tinah mengingatkan.
Semua orang yang melihatnya tertawa geli melihat Dul Rohim yang seperti ikan kehabisan oksigen. Setelah menghela dan mengatur nafasnya, Dul Rohim lalu mengutarakan maksud kedatangannya menemui Mak Tinah yang sedang bekerja.
“Mak, anakmu Wati datang, dia pulang dari kota. Dia naik mobil sedan, dandanannya sudah macam artis di Indosiar itu, sopirnya tampan lagi macam Dude Herlino, Mak.” Dul Rohim menjelaskan apa yang ia lihat saat melewati rumah Mak Tinah ketika ia berjalan menuju warung.
“Yang benar kamu, Him. Jangan bohong sama orang tua kamu,” tegur Dul Hasan, kakaknya.
“Mana mungkin aku bohong, aku kan orang paling jujur di sini,” balas Dul Rohim.
Alhamdulillah, pulang juga putriku. Kalau begitu ayo antarkan Mak pulang,” ucap Mak Tinah penuh syukur sumringah.
“Ayo, Mak. Kuantar pulang.” Dul Rohim pasang badan menawari Mak Tinah.
“Heh, kamu mau antar Mak Tinah pakai apa? Pakai punggung?” ledek Mak Siyam diikuti tawa para pekerja di sawah. Dul Rohim nampak kesal mendengar ledekan Mak Siyam.
“Kamu pulang jalan kaki saja, biar aku yang antar Mak Tinah pulang, naik motor,” tukas Dul Hasan, mengecewakan Dul Rohim yang harus terima, dia pulang naik sandal jepitnya.
Sesampainya di rumah Mak Tinah, suasana seketika hening bercampur haru-bahagia. Wati segera menghampiri Mak Tinah, memeluk dan mencium wanita yang masih diliputi bau keringat dan bau lumpur. Tapi Wati sepertinya tidak peduli dengan segala keadaan Ibunya, yang sudah berpisah dengannya selama 5 tahun. Dia  menangis, melepas rindu.
Mak Tinah pun larut pula dalam suasana haru, ia menangis dan menangis. Terik matahari dihiraukan, udara panas diabaikan. Semuanya larut dalam airmata sepasang ibu dan anak itu.
“Wati, Mak kangen sekali denganmu, Nak. Kenapa kamu baru pulang? Bagaimana kabarmu di kota?” ungkapan Mak Tinah meluapkan kerinduannya.
“Wati juga kangen sama, Mak. Maafin Wati, Wati jarang beri kabar, tak pernah pulang. Tapi, Alhamdulillah Wati baik-baik saja di sana.”
Alhamdulillah kalau kau baik-baik saja. Tapi sekarang penampilanmu berbeda, kau sudah jadi orang kota sekarang.”
“Ah Mak, biasa saja. Cuma sedikit saja berubahnya,” ucap Wati dengan tersenyum.
“Sedikit, sedikit, tapi kan lama, Nak. Jadilah banyak.”
Canda tawa mereka menghapus air mata kedua manusia itu. Sedangkan Dul Hasan, akhirnya berpamitan dengan Mak Tinah dan Wati, serta orang yang mengantarkan Wati untuk kembali ke sawah, setelah beberapa lama berbincang dengan ketiganya di rumah Mak Tinah.
***
Sore hari, setelah makan. Wati menghampiri Mak Tinah di dapur, sedang mencuci piring. Dia seperti ingin mengutarakan sesuatu.
“Mak, sini Wati bantu,” tegur Wati.
“Eh, nggak usah. Kamu kan tamu sekarang, dan Mak tak mau merepotkan tamu,” ujar Mak Tinah melarang.
“Ah Mak bisa saja, ini kan rumah Mak, jadi rumahku juga. Masa ada tamu mertamu di rumah sendiri,” kata Wati menimpali.
“Tapi kan kamu baru datang dari kota, Mak nggak mau merepotkan kamu. Kamu istirahat saja di depan, temani orang itu,” ujar Mak Tinah memberi saran.
“Iya, Mak. Tapi aku mau bicara sesuatu ke Emak. Sesuatu yang mendasari kedatanganku ke sini,” ucap Wati.
“Kamu mau bicara apa, sepertinya penting sekali.”
“Aku ingin menikah, Mak.”
“Kamu ingin menikah? Pas sekali, Mak memang ingin menjodohkan kamu sama Dul Hasan, tapi kamu tidak pernah pulang.”
“Apa? Dul Hasan yang tadi mengantarkan Mak pulang?”
“Iya siapa lagi? Dia orang baik, petani sukses, wajahnya pun lumayan tampan. Mak kira dia cocok sama kamu.”
“Memang dia orang baik, tapi dia tak pantas buatku, Mak,”
Maksudmu? Apa yang kamu maksud tak pantas?”
Wati menceritakan semuanya pada Mak Tinah, segala kejadian yang menjadi kisah penuh intrik seorang wanita perantau. Pemuda yang mengantarkan Wati pun ikut angkat bicara perihal kedatangannya ke rumah Mak Tinah. Dia punya maksud yang bahkan Mak Tinah pun tak menduga bahwa ia adalah orang dibalik ketegaran putrinya.
“Maksud kedatangan saya selain dari mengantarkan putri semata wayang Ibu pulang, adalah ingin meminta doa dan restu dari Ibu, selaku orang tua dari Wati. Saya mencintainya, Bu. Betapapun keadaannya sudah berbadan dua dan meskipun itu bukan anak saya, saya menerimanya, saya cinta Wati, Bu.” Begitulah kira-kira ucapan Wawan menyampaikan maksud kedatangannya menemui Mak Tinah.
Mendengar suara dan keberanian serta keikhlasan Wawan yang begitu bulat bak bola mata yang sekarang sedang meluap air mata, Mak Tinah bergetar hatinya. Mak Tinah bisu, Wati juga diam, udara beku, angin hilang.
“Kenapa kamu mau menikahi putriku yang kamu tahu sudah bunting anak orang lain?” tanya Mak Tinah menegaskan keyakinan.
“Mak, buat saya, bagaimanapun keadaan Wati saya tetap akan menerimanya sepenuh hati dan seteguh jiwa, setegak raga. Setiap orang punya masa lalu, kelam atau cerah semuanya sama, sudah berakhir. Lagi pula, itu bukan sepenuhnya kesalahan Wati, ia dijebak. Tapi kalau Ibu meminta alasan, alasan saya hanya satu, dia mau berubah dan ia bisa bertahan di situasi seperti itu.”
Mak Tinah kemudian memeluk Wati dan berkata,
“Hujan pasti datang, Nak. Yang harus kau siapkan lebih dulu bukan payung, tapi benih. Hujan bisa saja menyakiti, tapi benihmu pasti tumbuh. Karena itu, maka Mak merestui kalian. Tapi satu hal yang harus kalian ingat, betapa derasnya hujan, satu-satunya yang bisa mencegah ia menimpamu di luaran adalah payung, maka berteduhlah.”

Lampung, April 2019

Komentar

Populer

Puisi -puisi Imam Khoironi di Radar Malang

Edisi Minggu, 7 Juli 2019 Menunggu Kepulangan Ayah hari sudah hampir penuh dengan peluh dan lelah membasahi tiap-tiap doaku, saat melangkah menuju surau yang jaraknya melaju ke ujung kesunyian dan kau pun belum juga ingat waktu dan masih mencangkuli ladang citaku setelah matahari mengucapkan sampai jumpa dengan pepohonan dan bulan menyampaikan selamat jalan pada dunia yang ramai di desa kau baru ingat kalau rumah ini punya dunianya sendiri dan juga butuh apimu Lampung, Juni 2019 Menunggu Ibu Pulang tak seperti waktu yang biasa mengalir di sela-sela jemarimu kepergianmu yang berselamat pagi pada embun itu tak pernah mendapat sambutan cahaya pagi lembar demi lembar rindu terus menumpuk, tumbuh dari daun-daun kasihmu yang perlahan gugur di taman surga waktu yang tak kunjung menemui buntu sedangkan kepulanganmu selalu kutunggu di taman yang embun itu menetes dari bunga askh yang tak bisa mengharumi rumah kita Lampung,

Puisi Imam Khoironi_Bangka Pos Edisi 8 September 2019

Mendengarkan Ricik air terbenam di wadah-wadah mendung Suaranya serupa semilir angin Menepuk daun jati yang gugur Di muka kemarau Takdir memelukku erat Hingga biduk yang kunanti tiba Aku hanya mendengarkan suara gerimis Lampung, Juli 2019 Senandung Maka beri tahu aku Ihwal lagu itu Di kalbumu senyap saja Tampak tubuhmu tak lagi menyanyi Sampai senja menelan apa saja Yang berderap di muka kota Aku tak lagi mendengar angin Yang dahulu bersemayam di lagumu Lampung, Juli 2019 Angin dan Pohon /I/ Namun sampai bila juga Hatiku akan menjemput keniscayaan Di dalam ruh yang bertebaran Kutahu angin membawa namamu Bayangmu pasti kerlip bintang, Atau teka-teki tentang pelangi Akankah ia muncul bersama gerimis Yang melambai pada berkas cahaya? /II/ Lalu sampailah kita Tanpa pertanyaan dan jawaban apa-apa Kehendak hanya datang Ia tak pernah pulang Hingga satu ketika waktu membuka Setiap rahasia dari lagumu Atau mungkin juga angin Bertengger di pepohonan