Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label RUANG SAJAK

Puisi Imam Khoironi | Radar Tasikmalaya

Selamat Hari Puisi Nasional Mari Berpuisi Untuk Indonesia yang Lebih bersemi #Dirumahaja #Bacapuisi #Bersastrauntuknegeri     Di Dapur Matahari belum gegap, ufuk timur masih senyap. Pagi masih berhutang dengan malam, Ia melunasinya kali ini Tapi kulihat di dapur, cahaya dari sudut lain semarak. Cahaya dari api di tungku penghidupan Suara wajan yang beradu dengan pedang, menggiring anak-anak ayam mewarta, pada induk mereka Namun, sebelum kayu bakar benar-benar menjelma bara Sebelum asap diserap daun-daun pagi Sebelum air di dalam panci, bergemuruh Sebelum seluruh batu bata di dapur, menghitam Sebelum aku mengerang karena maag, Suara Ibu sudah masak di daun telinga mendoa buatku, membangunkanku Candipuro, 26 Maret 2019 Lekang Aku akan terima segala ucapan Bermula saat kedatangan Hingga akhirnya bertemu selamat tinggal, Selamat jalan dan sampai jumpa. Pada setiap jumpa, kita akan mencari Waktu untuk berpulang Meski satu d

Puisi Imam Khoironi | Bali Pos

Sumpah Seorang Pemuda Kepada Ibunya Ibu. Aku bersumpah demi yang lebih tinggi Dari bendera dan   apa saja Tanahmu, akan kujadikan tempat kuburku Meredam panas darahku Ibu. Aku bersumpah demi penguasa kehendak Dan kehendak itu sendiri Nasibku biar jadi misteri Semoga menjadi jati diri Ibu. Aku bersumpah demi penyair paling merdeka Dan paling berkuasa di jaga raya Puisi ini kutulis tanpa bahasa apa-apa Kecuali ini bahasamu, Ibu. Way Halim, 28 Oktober 2019 Menggambar Pohon Bagi kami: Yang membalut napas dengan debu kering tanah lapang Retak dan merekah seperti bunga di pertengahan musim semi Serta tidak lupa mengantar doa menuju langit melalui lampion-lampion Juga mantra-mantra yang tak lagi kudus Mencari jalan setapak untuk menemui roh Yang coba menembus langit membincangkan Pengadilan dunia pada Tuhan Ketahuilah: Akar-akar rumput sudah menembus batu Dan pohon dengan daun-daun hijau hanya ada Pada buku mewarnai anak

Puisi Imam Khoironi | Medan Pos

Sebuah Kesaksian Aku tak punya sejarah ataupun budaya Untuk bisa aku catat Dan kutulis kembali sebagai puisi Tak seperti para penyair di luaran Aku terdampar di negeri sendiri Negeri kopi Aku orang asing di negeri asing Yang kutinggali bersama ribuan diksi Bahasa lain, Lampung, Juni 2019 Aku Hanya Ingin Menulis Aku hendak menulis puisi Puisi tentang kesendirian Dan sepi yang menjelma sebagai kenyamanan Aku mau merangkai sajak Tanpa rajut atau sulaman Benang dan jarum dalam gelas yang retak Aku hanya ingin menulis puisi Tentang sepi yang menjadi sekat sekat yang menjadi jarak jarak yang menjadi rindu aku hanya ingin menulis puisi tentang dirimu Lampung, Juni 2019 Kuatren Fana Ada yang hilang dan meninggalkan jejak-jejak kegundahan Ada yang pulang dan memboyong segala isi di lemari Ada yang pergi dan membawa serta kerinduan dan sakit hati Ada yang datang dan mengisi waktu, mengiringi selam namun tak abadi L

Puisi Imam Khoironi di Denpasar Post Edisi 28 September 2019

Kepada Puisi Kepada puisi, yang ramah dan (tak) mengenal patah hati Kukabarkan harapan dan kemungkinan Mengenai hal-hal dalam dua bulan penuh penantian Kepada puisi, yang tulus dan mencintai sunyi Sepenuh hati dan ketahuilah Bahwa separuh doaku adalah padamu Dan mengenalimu adalah suatu kesucian Kepada puisi, yang menjelma seorang peri Malam sudah kuputuskan untuk menanggalkan bintang-bintang Dan berilah aku mantra sebagai bekal Dalam tujuanku menghabiskan sisa usia Yang kosong dalam perjalananku menuju kematian Lampung, Juni 2019 Kabar dari Kota Sudah datang kepadaku Melalui surat kabar dan pesan singkat Sebuah berita tentang kemalangan. Lama, jarak yang harus ia tempuh Dalam sebuah pengembaraan di jalan terjal Tempatku akan menjejakkan kaki Sebagai pecundang Di manakah detak nadiku . Begitu jeritanmu Pertanyaan tentang bagaimana kabar Kawan-kawan kita yang gugur di pabrik Menjadi kembang musim hujan yang tunduk pada

Puisi Imam Khoironi_Bangka Pos Edisi 8 September 2019

Mendengarkan Ricik air terbenam di wadah-wadah mendung Suaranya serupa semilir angin Menepuk daun jati yang gugur Di muka kemarau Takdir memelukku erat Hingga biduk yang kunanti tiba Aku hanya mendengarkan suara gerimis Lampung, Juli 2019 Senandung Maka beri tahu aku Ihwal lagu itu Di kalbumu senyap saja Tampak tubuhmu tak lagi menyanyi Sampai senja menelan apa saja Yang berderap di muka kota Aku tak lagi mendengar angin Yang dahulu bersemayam di lagumu Lampung, Juli 2019 Angin dan Pohon /I/ Namun sampai bila juga Hatiku akan menjemput keniscayaan Di dalam ruh yang bertebaran Kutahu angin membawa namamu Bayangmu pasti kerlip bintang, Atau teka-teki tentang pelangi Akankah ia muncul bersama gerimis Yang melambai pada berkas cahaya? /II/ Lalu sampailah kita Tanpa pertanyaan dan jawaban apa-apa Kehendak hanya datang Ia tak pernah pulang Hingga satu ketika waktu membuka Setiap rahasia dari lagumu Atau mungkin juga angin Bertengger di pepohonan

Puisi-puisi Imam Khoironi di Radar Mojokerto Edisi 18 Agustus 2019

Di Jalur Pulang Ini Aku Di jalur pulang ini aku Mencoba memisahkan Antara rindu dan kesedihan Menjahit napas sengal dan tangisan Menjala kemungkinan yang ragu-ragu Untuk menjadi pasti Di dalam deru mesin angkot Yan berada pada lajur kepulanganku Aku merangkai detik Yang akan kulalui di titik kepulangan Di jalur pulang ini aku Menata jalan Lewat persimpangan, tanjakan dan perpisahan Aku musafir yang akan datang Dan tak menyertakan peta Di saku kemeja Di jalan pulang ini aku Mencatat semua hal Termasuk percakapanku Dengan kenangan Lampung Selatan, Juli 2019 Di Atas Bukit Nada sunyiku saling bertautan Menggandeng tangan Membentuk melodi: Harmoni penuh pengharapan Sunyi yang patah menjadi senandung Dan burung pipit ikut bersahutan Mendendangkan lagu keceriaan Liriknya dari butir hujan Berpadu dengan angin yang menitipkan jiwanya Pada daun dan rumput-semak Mengiringi derapan pagi sampai penuh hari Meng