Maling Sandal
Malam yang hening
diawali suara azan pertanda waktu Isya sudah datang. Malam ini adalah malam ke
25 bulan Ramadan. Memang tak terasa sudah 24 hari bulan puasa dilalui dengan
penuh keberkahan, ibadah setiap hari, serta makanan enak yang dimasak oleh ibu
setiap hari.
Berbuka dengan kolak
membuatku kembali semangat menjalankan ibadah malam ini, terutama salat tarawih dan tadarus Al-Qur’an di
masjid dekat rumahku. Setelah berwudhu dan berganti pakaian, memakai sarung dan
baju koko serta kopyah aku siap berangkat ke masjid untuk solat tarawih.
“Arif, ayo kita
berangkat, nanti kita terlambat!” terdengar
suara dari luar kamarku, ternyata Ayah
memanggilku agar segera bergegas.
“Iya, Ayah,” jawabku
dari dalam kamar.
“Pakai sandal yang lama
saja, yang baru besok pakainya waktu lebaran saja,” pinta Ayahku.
“Memang kenapa, Yah. Ada apa dengan sandal baruku?” tanyaku sedikit agak bingung.
“Tidak ada apa-apa
dengan sandal barumu, tapi akhir-akhir ini di desa kita banyak orang berangkat
pakai sandal bagus, lalu pulangnya harus rela telanjang kaki.”
“Bagaimana bisa itu
terjadi?” tanyaku
pada ayah karena penasaran.
Ayahku tak menjawab
pertanyaanku dia hanya mengatakan nanti kamu juga tau. Perkataan yang membuat aku
semakin penasaran. Dugaanku adalah ada orang-orang jahil yang sengaja menyembunyikan
sandal orang yang sedang salat
tarawih.
Di perjalanan menuju masjid aku dan ayahku
bertemu dengan Jepri, dia adalah teman akrabku, dulu saat di sekolah dasar.
Sayangnya dia harus berhenti dan tidak melanjutkan sekolahnya ke sekolah
menengah pertama. Aku tak tahu alasannya tidak melanjutkan, tetapi aku dengar
dari teman-temanku yang lain katanya karena orang tuanya tidak punya biaya.
Sekarangpun aku jarang melihatnya. Ayahku coba menegurnya,
“Mau kemana, Jep. Ayo kita bersama-sama ke masjid,” ajak
ayahku.
“E ee e, anu,
saya mau kerja,
Pak. Besok saja saya ke masjidnya. Mari, Pak, mari Rif saya duluan,” jawab
Jepri dengan gugup, Jepri lantas mempercepat jalannya dan berbelok kearah
barat.
“Jam segini mau kerja
di mana? Apa ada tempat kerja yang
mempekerjakan anak di bawah
umur pada malam
hari?” Ayahku bergumam sendiri, dan aku pun betanya-tanya, anak usia 15 tahun seperti dia sudah
bekerja, lalu kerja apa? Ah entahlah, aku tak mau berprasangka buruk terhadap
temanku itu, karena memang dia adalah anak yang tidak pernah macam-macam
setahuku. Tapi akhir-akhir ini aku tak pernah mendengar kabar tentang dia lagi.
Aku dan ayahku pun
sampai di masjid. Aku melihat pak Zaky dan pak Redho sedang berbincang, pak
Zaky adalah ketua RW di kampungku, sedangkan pak Redho adalah kepala keamanan.
Sayup-sayup terengar mereka sedang membicarakan tentang keamanan disekitar
masjid.
“Pak Redho, akhir-akhir
ini banyak laporan warga yang mengeluh kehilangan sandal di lingkungan masjid,
mereka berangkat bersandal, waktu pulang sandal mereka sudah pergi. Anda selaku
kepala keamanan harus segera menangani masalah ini agar warga tenang,” ucap
pak Zaky.
“Siap, Pak. Saya dan anggota keamanan lain akan
segera menangani kasus ini, nanti akan ada beberapa anggota yang saya tempatkan
di tempat yang tersembunyi untuk mengawasi gerak-gerik setiap orang yang ada di
sekitar masjid, dan bila ada orang yang mencuirgakan pergerakannya saya akan
segera memeriksanya,”
jelas pak Redho.
“Memang harus begitu,
tapi ini harus rutin dilakukan. Jangan hanya saat ada laporan saja. Mencegah lebih
baik dari mengobati,”
ucap pak Redho. Itulah yang kudengar dari
perbincangan mereka. Setelah itu aku tak memperhatikan lagi, aku langsung masuk
ke masjid.
Dugaanku kini berubah,
aku menduga ada maling yang mencuri sandal warga yang sedang ada di dalam
masjid, tapi siapa malingnya? Ah, aku tak mau ambil pusing, lagian aku juga
memakai sandal butut, maling juga malas untuk mengambilnya.
Sekarang aku ingin
fokus untuk salat,
aku tak mau terganggu oleh hal semacam itu, walaupun sebenarnya aku khawatir
kalau-kalau nanti sandal bututku diembat juga.
Tepat ketika salam di
rakaat ke 10, ada suara orang berteriak. Kedengaranya dari halaman depan
masjid.
“Maling..., maling... .”
Itulah yang kudengar. Sontak para jamaahpun terkejut dan ada beberapa orang
yang lari keluar untuk melihat apa yang terjadi. Di sisi lain Pak Yusuf selaku imam salat, meminta agar para jamaah untuk
tetap tenang dan melanjutkan solat.
“Bapak-bapak dan
adik-adik, mohon tetap tenang, jangan panik dan juga jangan berhamburan keluar
masjid. Biarkan para petugas
keamanan
yang menanganinya, sekarang kita lanjutkan saja salatnya”.
Awalnya aku cukup kaget,
tapi karena aku yakin si maling tidak mengambil sandalku, jadi aku tak terlalu
memikirkannya. Dan aku rasa si malingpun sudah diamankan oleh para petugas keamanan yang sedari tadi
berjaga di luar.
Dan benar saja, si
maling akhirnya tertangkap. Aku mengetahuinya setelah mendengarkan cerita pak
Dewan yang tadi sempat melihat keluar saat penangkapan si maling oleh anak buah
pak Redho. Kata beliau si maling itu menutupi wajahnya menggunakan masker, dia
juga membawa karung yang digunakannya sebagai wadah sandal-sandal yang dia
ambil.
Perasaanku lega
sebenarnya, tapi rasa penasaranku sekarang semakin bertambah. Apalagi hal yang
sedikit aku khawatirkan terjadi, yaitu sandal bututku. Ya, sandal bututku
benar-benar hilang. Padahal sandalku sudah tidak layak untuk kembali dijual di
loakan. Ya, dengan terpaksa aku harus bertelanjang kaki untuk pulang kerumah.
Dan sebelum aku pulang
ke rumah, aku dan ayahku menyempatkan diri untuk
pergi ke pos Hansip untuk mengobati rasa penasaranku tentang siapa sebenarnya
si maling itu, juga untuk mengambil sandal yang tadi sudah diambilnya. Lumayan
masih bisa dipakai.
Sesampainya di pos
Hansip aku cukup terkejut karena ramai sekali orang-orang yang ingin melihat si maling sandal. Sudah
seperti artis saja maling itu, dikerumuni banyak orang. Aku dan ayahku pun ikut
berdesak-desakan untuk bisa masuk ke dalam, ketika aku sudah bisa masuk dan ada
di dalam, aku melihat si maling. Dia adalah anak kampung sebelah, namanya Ipan.
Aku mengenalnya ketika masuk ke SMP. Dia memang anak yang nakal, jahil, aku pun
tak terlalu heran
kalau dia adalah si maling itu.
Aku mencari-cari
sandalku di sana, tapi
ternyata tidak ada sandalku di dalam karung wadah sandal curian si maling tadi.
Aku yang sedari tadi tidak pakai sandal merasa kebingungan, kalau tidak diambil
si maling, dan tidak ada di masjid lalu di mana
sandalku.
Aku akhirnya memutuskan
untuk pulang bersama ayah dan terpaksa telanjang kaki. Sesampainya di rumah aku kembali terkejut, karena ada
Jepri yang sedang berdiri di depan rumahku.
“Ada apa, Jep? Bukannya kamu sedang bekerja?” tanyaku penasaran.
“ Ee, ee,
anu Rif, aku mau mengembalikan sandalmu. Tadi aku menggunakannya ketika kamu
sedang salat
di masjid. Aku tadi kebelet buang air waktu berjalan pulang dari tempat kerja, jadi aku mampir ke toilet
masjid untuk buang air,” ucap
Jepri agak gugup.
“Oooo, jadi begitu, lalu?”
“Lalu aku melihat
sandalmu di depan masjid, ya aku pakai saja. Aku kan tidak bawa sandal,
sandalku putus. Dan ketika aku keluar toilet ternyata sudah tidak ada kamu di
sana, cuma ada pak Yusuf di sana.
Kata beliau orang-orang sudah pulang ke rumah masing-masing, begitu, Rif,” jelas Jepri.
“Dari mana kau tau
kalau itu sandalku?” aku
kembali bertanya.
“Ya, waktu tadi aku berpapasan
dengan kamu di jalan,”
jawab Jepri.
“Jadi kamu ternyata, yang mengambil sandalku, aku kira
sandal bututku itu diambil maling,” kataku.
“Hahaha, mana
mungkin, itu kan sandal butut yang sudah tidak layak dijual, maling juga malas
kali Rif mengambilnya,” ujar
Jepri.
Aku dan Jepri tertawa,
rasa penasaranku hilang dan si Jepri juga sudah mengembalikan sandal milikku.
Yang terpenting sandalku tidak jadi hilang, walaupun ada si maling sandal.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar