Langsung ke konten utama

Cerpen "Maling Sandal" di Medan Pos


Maling Sandal
 Medan Pos, 24 April 2019

Malam yang hening diawali suara azan pertanda waktu Isya sudah datang. Malam ini adalah malam ke 25 bulan Ramadan. Memang tak terasa sudah 24 hari bulan puasa dilalui dengan penuh keberkahan, ibadah setiap hari, serta makanan enak yang dimasak oleh ibu setiap hari.
Berbuka dengan kolak membuatku kembali semangat menjalankan ibadah malam ini, terutama salat tarawih dan tadarus Al-Qur’an di masjid dekat rumahku. Setelah berwudhu dan berganti pakaian, memakai sarung dan baju koko serta kopyah aku siap berangkat ke masjid untuk solat tarawih.
“Arif, ayo kita berangkat, nanti kita terlambat!” terdengar suara dari luar kamarku, ternyata Ayah memanggilku agar segera bergegas.
“Iya, Ayah,jawabku dari dalam kamar.
“Pakai sandal yang lama saja, yang baru besok pakainya waktu lebaran saja,” pinta Ayahku.
“Memang kenapa, Yah. Ada apa dengan sandal baruku?” tanyaku sedikit agak bingung.
“Tidak ada apa-apa dengan sandal barumu, tapi akhir-akhir ini di desa kita banyak orang berangkat pakai sandal bagus, lalu pulangnya harus rela telanjang kaki.
“Bagaimana bisa itu terjadi?” tanyaku pada ayah karena penasaran.
Ayahku tak menjawab pertanyaanku dia hanya mengatakan nanti kamu juga tau. Perkataan yang membuat aku semakin penasaran. Dugaanku adalah ada orang-orang jahil yang sengaja menyembunyikan sandal orang yang sedang salat tarawih.
Di perjalanan menuju masjid aku dan ayahku bertemu dengan Jepri, dia adalah teman akrabku, dulu saat di sekolah dasar. Sayangnya dia harus berhenti dan tidak melanjutkan sekolahnya ke sekolah menengah pertama. Aku tak tahu alasannya tidak melanjutkan, tetapi aku dengar dari teman-temanku yang lain katanya karena orang tuanya tidak punya biaya. Sekarangpun aku jarang melihatnya. Ayahku coba menegurnya,
“Mau kemana, Jep. Ayo kita bersama-sama ke masjid,ajak ayahku.
E ee e, anu, saya mau kerja, Pak. Besok saja saya ke masjidnya. Mari, Pak, mari Rif saya duluan,jawab Jepri dengan gugup, Jepri lantas mempercepat jalannya dan berbelok kearah barat.
“Jam segini mau kerja di mana? Apa ada tempat kerja yang mempekerjakan anak di bawah umur pada malam hari?” Ayahku bergumam sendiri, dan aku pun betanya-tanya, anak usia 15 tahun seperti dia sudah bekerja, lalu kerja apa? Ah entahlah, aku tak mau berprasangka buruk terhadap temanku itu, karena memang dia adalah anak yang tidak pernah macam-macam setahuku. Tapi akhir-akhir ini aku tak pernah mendengar kabar tentang dia lagi.
Aku dan ayahku pun sampai di masjid. Aku melihat pak Zaky dan pak Redho sedang berbincang, pak Zaky adalah ketua RW di kampungku, sedangkan pak Redho adalah kepala keamanan. Sayup-sayup terengar mereka sedang membicarakan tentang keamanan disekitar masjid.
“Pak Redho, akhir-akhir ini banyak laporan warga yang mengeluh kehilangan sandal di lingkungan masjid, mereka berangkat bersandal, waktu pulang sandal mereka sudah pergi. Anda selaku kepala keamanan harus segera menangani masalah ini agar warga tenang,ucap pak Zaky.
“Siap, Pak. Saya dan anggota keamanan lain akan segera menangani kasus ini, nanti akan ada beberapa anggota yang saya tempatkan di tempat yang tersembunyi untuk mengawasi gerak-gerik setiap orang yang ada di sekitar masjid, dan bila ada orang yang mencuirgakan pergerakannya saya akan segera memeriksanya,jelas pak Redho.
“Memang harus begitu, tapi ini harus rutin dilakukan. Jangan hanya saat ada laporan saja. Mencegah lebih baik dari mengobati,ucap pak Redho. Itulah yang kudengar dari perbincangan mereka. Setelah itu aku tak memperhatikan lagi, aku langsung masuk ke masjid.
Dugaanku kini berubah, aku menduga ada maling yang mencuri sandal warga yang sedang ada di dalam masjid, tapi siapa malingnya? Ah, aku tak mau ambil pusing, lagian aku juga memakai sandal butut, maling juga malas untuk mengambilnya.
Sekarang aku ingin fokus untuk salat, aku tak mau terganggu oleh hal semacam itu, walaupun sebenarnya aku khawatir kalau-kalau nanti sandal bututku diembat juga.


Tepat ketika salam di rakaat ke 10, ada suara orang berteriak. Kedengaranya dari halaman depan masjid.
“Maling..., maling... .” Itulah yang kudengar. Sontak para jamaahpun terkejut dan ada beberapa orang yang lari keluar untuk melihat apa yang terjadi. Di sisi lain Pak Yusuf selaku imam salat, meminta agar para jamaah untuk tetap tenang dan melanjutkan solat.
“Bapak-bapak dan adik-adik, mohon tetap tenang, jangan panik dan juga jangan berhamburan keluar masjid. Biarkan para petugas keamanan yang menanganinya, sekarang kita lanjutkan saja salatnya”.
Awalnya aku cukup kaget, tapi karena aku yakin si maling tidak mengambil sandalku, jadi aku tak terlalu memikirkannya. Dan aku rasa si malingpun sudah diamankan oleh para petugas keamanan yang sedari tadi berjaga di luar.
Dan benar saja, si maling akhirnya tertangkap. Aku mengetahuinya setelah mendengarkan cerita pak Dewan yang tadi sempat melihat keluar saat penangkapan si maling oleh anak buah pak Redho. Kata beliau si maling itu menutupi wajahnya menggunakan masker, dia juga membawa karung yang digunakannya sebagai wadah sandal-sandal yang dia ambil.
Perasaanku lega sebenarnya, tapi rasa penasaranku sekarang semakin bertambah. Apalagi hal yang sedikit aku khawatirkan terjadi, yaitu sandal bututku. Ya, sandal bututku benar-benar hilang. Padahal sandalku sudah tidak layak untuk kembali dijual di loakan. Ya, dengan terpaksa aku harus bertelanjang kaki untuk pulang kerumah.
Dan sebelum aku pulang ke rumah, aku dan ayahku menyempatkan diri untuk pergi ke pos Hansip untuk mengobati rasa penasaranku tentang siapa sebenarnya si maling itu, juga untuk mengambil sandal yang tadi sudah diambilnya. Lumayan masih bisa dipakai.
Sesampainya di pos Hansip aku cukup terkejut karena ramai sekali orang-orang yang ingin melihat si maling sandal. Sudah seperti artis saja maling itu, dikerumuni banyak orang. Aku dan ayahku pun ikut berdesak-desakan untuk bisa masuk ke dalam, ketika aku sudah bisa masuk dan ada di dalam, aku melihat si maling. Dia adalah anak kampung sebelah, namanya Ipan. Aku mengenalnya ketika masuk ke SMP. Dia memang anak yang nakal, jahil, aku pun tak terlalu heran kalau dia adalah si maling itu.
Aku mencari-cari sandalku di sana, tapi ternyata tidak ada sandalku di dalam karung wadah sandal curian si maling tadi. Aku yang sedari tadi tidak pakai sandal merasa kebingungan, kalau tidak diambil si maling, dan tidak ada di masjid lalu di mana sandalku.
Aku akhirnya memutuskan untuk pulang bersama ayah dan terpaksa telanjang kaki. Sesampainya di rumah aku kembali terkejut, karena ada Jepri yang sedang berdiri di depan rumahku.
“Ada apa, Jep? Bukannya kamu sedang bekerja?” tanyaku penasaran.
Ee, ee, anu Rif, aku mau mengembalikan sandalmu. Tadi aku menggunakannya ketika kamu sedang salat di masjid. Aku tadi kebelet buang air waktu berjalan pulang dari tempat kerja, jadi aku mampir ke toilet masjid untuk buang air,” ucap Jepri agak gugup.
“Oooo, jadi begitu, lalu?”
“Lalu aku melihat sandalmu di depan masjid, ya aku pakai saja. Aku kan tidak bawa sandal, sandalku putus. Dan ketika aku keluar toilet ternyata sudah tidak ada kamu di sana, cuma ada pak Yusuf di sana. Kata beliau orang-orang sudah pulang ke rumah masing-masing, begitu, Rif,” jelas Jepri.
“Dari mana kau tau kalau itu sandalku?” aku kembali bertanya.
“Ya, waktu tadi aku berpapasan dengan kamu di jalan,jawab Jepri.
“Jadi kamu ternyata, yang mengambil sandalku, aku kira sandal bututku itu diambil maling,” kataku.
Hahaha, mana mungkin, itu kan sandal butut yang sudah tidak layak dijual, maling juga malas kali Rif mengambilnya,” ujar Jepri.
Aku dan Jepri tertawa, rasa penasaranku hilang dan si Jepri juga sudah mengembalikan sandal milikku. Yang terpenting sandalku tidak jadi hilang, walaupun ada si maling sandal.

TAMAT

Komentar

Populer

Puisi -puisi Imam Khoironi di Radar Malang

Edisi Minggu, 7 Juli 2019 Menunggu Kepulangan Ayah hari sudah hampir penuh dengan peluh dan lelah membasahi tiap-tiap doaku, saat melangkah menuju surau yang jaraknya melaju ke ujung kesunyian dan kau pun belum juga ingat waktu dan masih mencangkuli ladang citaku setelah matahari mengucapkan sampai jumpa dengan pepohonan dan bulan menyampaikan selamat jalan pada dunia yang ramai di desa kau baru ingat kalau rumah ini punya dunianya sendiri dan juga butuh apimu Lampung, Juni 2019 Menunggu Ibu Pulang tak seperti waktu yang biasa mengalir di sela-sela jemarimu kepergianmu yang berselamat pagi pada embun itu tak pernah mendapat sambutan cahaya pagi lembar demi lembar rindu terus menumpuk, tumbuh dari daun-daun kasihmu yang perlahan gugur di taman surga waktu yang tak kunjung menemui buntu sedangkan kepulanganmu selalu kutunggu di taman yang embun itu menetes dari bunga askh yang tak bisa mengharumi rumah kita Lampung,

Cerpen "Hakikat Hujan" (Kabar Madura-Senin, 17 Juni 2019)

Hakikat Hujan Matahari bersinar terik hari ini. Sinarnya menembus kulit sampai ke darah. Namun itu semua tak sedikitpun mengurangi semangat Mak Tinah dan kawan-kawannya bekerja menanam padi di sawah milik Dul Hasan, petani muda yang sangat sukses. Sementara dari jauh nampak seorang pemuda, berlari melewati tanggul kali menuju sawah milik Dul Hasan, larinya seperti anak kecil, sering kali dia terpeleset dan jatuh lalu bangkit lagi, menjadi bahan tertawaan para petani di sekitar tanggul. Dia Dul Rohim adik dari Dul Hasan yang masih berusia 18 tahun, lebih muda 5 tahun dari kakaknya. Dia berlari sambil berteriak, memanggil-manggil Mak Tinah yang sedang menanam padi di sawah. “Mak Tinah... Mak Tinah...” begitu ia memanggil wanita paruh baya yang sudah lama ditinggal mati suaminya, dan kini hidup sendiri setelah anak perempuan satu-satunya merantau ke kota. Mak Tinah melihat Rohim dengan heran, seperti ada sesuatu yang sangat ingin disampaikan Rohim sampai-sampai ia mau lari-

Puisi Imam Khoironi_Bangka Pos Edisi 8 September 2019

Mendengarkan Ricik air terbenam di wadah-wadah mendung Suaranya serupa semilir angin Menepuk daun jati yang gugur Di muka kemarau Takdir memelukku erat Hingga biduk yang kunanti tiba Aku hanya mendengarkan suara gerimis Lampung, Juli 2019 Senandung Maka beri tahu aku Ihwal lagu itu Di kalbumu senyap saja Tampak tubuhmu tak lagi menyanyi Sampai senja menelan apa saja Yang berderap di muka kota Aku tak lagi mendengar angin Yang dahulu bersemayam di lagumu Lampung, Juli 2019 Angin dan Pohon /I/ Namun sampai bila juga Hatiku akan menjemput keniscayaan Di dalam ruh yang bertebaran Kutahu angin membawa namamu Bayangmu pasti kerlip bintang, Atau teka-teki tentang pelangi Akankah ia muncul bersama gerimis Yang melambai pada berkas cahaya? /II/ Lalu sampailah kita Tanpa pertanyaan dan jawaban apa-apa Kehendak hanya datang Ia tak pernah pulang Hingga satu ketika waktu membuka Setiap rahasia dari lagumu Atau mungkin juga angin Bertengger di pepohonan