Langsung ke konten utama

Puisi-Puisi Imam Khoironi di Apajake.id

Edisi Jum'at, 3 Mei 2019


Aku Lupa Menguras Kenangan

setelah berakhirnya air matamu
kurasa tak ada lagi yang tersisa,

selain aroma wangi dari daun kemangi
yang kaukunyah di tepian malam
saat aku menemanimu makan di warung kota

di kota ini kutaburi jutaan kemunafikan
dari mulai pagi di awan, hingga sore di pelataran

rambutmu rajin menyibakkan masa lalu
padahal garis-garis kerinduanmu, sudah
dari sejak awal pertemuan, kugunting

hampir di setiap pertemuan kita, kauselalu bercerita,
dalam segala ruang dan waktu, kenanganmu menggenang
sebab aku lupa, untuk mengurasnya

April 2019

Muktamar Rindu

Pada masa laluku, ada sebuah ruangan
yang begitu asing bagi tubuhku
di sana serpihan rinduku bersemayam
mungkin juga bersama rindumu

sebagaimana puisi yang kaubaca dan fahami
jika aku akan mati,
maka, kusediakan ruangan
yang tubuh kita tak akan mampu
masuk, dan membersihkan rindu itu
dan pasti, rindu akan menyukai tempat itu

karena ada rindumu
dan rinduku, lestari
hingga ragaku terbungkus kain putih
tetap abadi.

April 2019

Aku, Kau dan Sesuatu yang Lain

Semesra apapun kau mencumbuiku
Kau tak akan mengerti siapa aku
Sedalam apapun kau tatap mataku
Kau takkan mengerti diriku
Sepekat apapun kau menggenggam tanganku
Kau takkan mengerti aku
Sesering apapun kau mendoa ke Tuhan
Menyebut namaku di tiap malammu
Kau masih akan abu-abu tentangku
Selebat apapun wiridmu memanggil namaku
Kau sama sekali takkan mengerti diriku
Namun, jika kau ingin tahu aku
Kau harus mau bercermin
Menatap matamu lebih lama
Menyusuri jalanmu lebih jauh
Mendalami hati dan rindumu lebih dalam
Mendoakan dirimu lebih malam
Maka kuyakin, Tuhan akan memberi tahumu
Perihal: “kau adalah apa yang kausebut namanya dalam doa dan wiridmu”
Maka berhentilah merindu pada yang lain

Lampung, April 2019

Komentar

Populer

Puisi -puisi Imam Khoironi di Radar Malang

Edisi Minggu, 7 Juli 2019 Menunggu Kepulangan Ayah hari sudah hampir penuh dengan peluh dan lelah membasahi tiap-tiap doaku, saat melangkah menuju surau yang jaraknya melaju ke ujung kesunyian dan kau pun belum juga ingat waktu dan masih mencangkuli ladang citaku setelah matahari mengucapkan sampai jumpa dengan pepohonan dan bulan menyampaikan selamat jalan pada dunia yang ramai di desa kau baru ingat kalau rumah ini punya dunianya sendiri dan juga butuh apimu Lampung, Juni 2019 Menunggu Ibu Pulang tak seperti waktu yang biasa mengalir di sela-sela jemarimu kepergianmu yang berselamat pagi pada embun itu tak pernah mendapat sambutan cahaya pagi lembar demi lembar rindu terus menumpuk, tumbuh dari daun-daun kasihmu yang perlahan gugur di taman surga waktu yang tak kunjung menemui buntu sedangkan kepulanganmu selalu kutunggu di taman yang embun itu menetes dari bunga askh yang tak bisa mengharumi rumah kita Lampung,

Cerpen "Hakikat Hujan" (Kabar Madura-Senin, 17 Juni 2019)

Hakikat Hujan Matahari bersinar terik hari ini. Sinarnya menembus kulit sampai ke darah. Namun itu semua tak sedikitpun mengurangi semangat Mak Tinah dan kawan-kawannya bekerja menanam padi di sawah milik Dul Hasan, petani muda yang sangat sukses. Sementara dari jauh nampak seorang pemuda, berlari melewati tanggul kali menuju sawah milik Dul Hasan, larinya seperti anak kecil, sering kali dia terpeleset dan jatuh lalu bangkit lagi, menjadi bahan tertawaan para petani di sekitar tanggul. Dia Dul Rohim adik dari Dul Hasan yang masih berusia 18 tahun, lebih muda 5 tahun dari kakaknya. Dia berlari sambil berteriak, memanggil-manggil Mak Tinah yang sedang menanam padi di sawah. “Mak Tinah... Mak Tinah...” begitu ia memanggil wanita paruh baya yang sudah lama ditinggal mati suaminya, dan kini hidup sendiri setelah anak perempuan satu-satunya merantau ke kota. Mak Tinah melihat Rohim dengan heran, seperti ada sesuatu yang sangat ingin disampaikan Rohim sampai-sampai ia mau lari-

Puisi Imam Khoironi_Bangka Pos Edisi 8 September 2019

Mendengarkan Ricik air terbenam di wadah-wadah mendung Suaranya serupa semilir angin Menepuk daun jati yang gugur Di muka kemarau Takdir memelukku erat Hingga biduk yang kunanti tiba Aku hanya mendengarkan suara gerimis Lampung, Juli 2019 Senandung Maka beri tahu aku Ihwal lagu itu Di kalbumu senyap saja Tampak tubuhmu tak lagi menyanyi Sampai senja menelan apa saja Yang berderap di muka kota Aku tak lagi mendengar angin Yang dahulu bersemayam di lagumu Lampung, Juli 2019 Angin dan Pohon /I/ Namun sampai bila juga Hatiku akan menjemput keniscayaan Di dalam ruh yang bertebaran Kutahu angin membawa namamu Bayangmu pasti kerlip bintang, Atau teka-teki tentang pelangi Akankah ia muncul bersama gerimis Yang melambai pada berkas cahaya? /II/ Lalu sampailah kita Tanpa pertanyaan dan jawaban apa-apa Kehendak hanya datang Ia tak pernah pulang Hingga satu ketika waktu membuka Setiap rahasia dari lagumu Atau mungkin juga angin Bertengger di pepohonan