Puisi Imam Khoironi
Belajar Membaca Puisi
Kubaca puisimu,
saat petus menggelegar
Dan awan memenjara bintang-bintang
Angin nampak gusar
Menjemput burung-burung
Lonceng gereja berdentang, langit menggerutu
Wahai Rendra, mengapa orang menyebutmu merak?
Kubaca sajak-sajakmu,
ketika hujan menelanjangi anak-anak
Dan membungkus udara dengan sendu
Selokan yang penuh lumpur
Berubah menjadi dapur bagi katak
Rendra, tiadakah wajah lain burung merak?
Kubaca puisimu,
saat jam di tangan menyebut sore
Dan detak kegelisahan menggerai
Rasa rindu membelit, menganyam
Pohon akasia di depan surau bergoyang kegelian
Wahai Rendra, mungkinah puisi ini seindah ekor burung merak?
Lampung, April 2019
Belajar Merindu
di jauh yang kau selamat jalan
di jarak yang engkau merindu
ada tempat, yang disana kata tak lagi bersemayam
hanya berhunikan rasa dan suara,
suara yang memanggil namaku
rasa yang menggenangi hatimu
di jalan yang engkau menangis
di singgah yang engkau terluka
ada tempat yang ku temukan
yang di sana cinta tak lagi gairah
rindu kita hanya menunda pertemuan
maka sematkan namaku, dalam tiap-tiap doamu,
biar nanti ku jenguk engkau dalam mimpimu
pun akan aku sematkan namamu dalam doaku,
biar aku bisa sampai dalam mimpimu
Cintamulya, Desember 2018
Yang Lebih Gampang dari Memutus Rindu
Apakah bila hujan kupotong rintik berantainya,
langit akan berhenti menangis?
Apakah bila rindu ini kupenggal sumbu rasanya,
ia akan mati dan tidak mengganggu lagi?
Aku rasa tidak semudah itu.
Bahkan bila terjadipun,
akan lebih gampang memenggal kepalamu,
daripada memutus rantai hujan
dan membunuh rindu
Titiwangi, 10 Maret 2019
Sebelum Pulang
Sebelum petang menjejalkan segala kegelapan
Sebelum ragaku tersungkur di atas ranjang dan
jiwaku terbelam di kubangan
maka sentuhlah mataku dengan seluruh rindu yang jalang
ikat pula naifku dengan
setiap kemungkinan menemuimu hari ini
Lampung, April 2019
Mengecap Rasa Laut
dalam gemuruh langit
kutautkan setiap rasa yang ada
meski tiba-tiba hujan urung menyentuhku
dan membasahi tubuh kita
yang sudah tidak bercelana
apakah hatimu angin
yang kacau setelah bulan purnama
tinggal di laut?
apakah tubuhmu api
yang melebur diri sendiri
setelah Tuhan membangunkan jasad?
ketika tumbuhmu di ujung kelelahan,
aku bersumpah,
lautan akan menjadi tempat paling
bersjarah, di sana rasaku akan kutaruh
dan semoga abadi bersama riuh gemuruh
debur nafasmu
Mei 2019
Berawal di Gereja, Bermuara di Surau
cintaku tersesat di altar gereja,
lonceng saat itu berdentang
dengan sekeras baja
padahal hari itu jumat
dan pagi-pagi dalam kamusku bukanlah al-kitab (bibel)
semua ragaku, akan aku rebahkan
di atas api yang bergaram,
dan tubuhmu ada di sampingku mengucap dua kalimat
syahadat, di hadapan seluruh bapak dan bunda,
mungkin, disaksikan oleh yesus yang sedang melebur
dosanya sendiri, dan dosa-dosa lain
sebab kau tak lagi digembalanya
kubiarkan air matamu mendera bedak dan gincu
kubiarkan gaunmu basah karena keringat
sebab tempat kita sekarang adalah,
tungku pembakaran dosa-dosa, yang pernah
aku dan kita lakukan,
begitu pula memang surau ini tak lagi punya daya
memutar kipas angin dan membukakan jendela
Mei 2019
Muson
Angin
bergerak cepat,
menembus
bilik-bilik rumah dan merasuk,
menyelinap
masuk lebih dalam,
membawa
pesan dari masa depan,
mengirimkan
dengan dinginan kejap.
Angin
bergerak tepat,
mengitari
rumah-rumah dan kemah-kemah,
menyampaikan
salam tak terdengar,
akan
memberitahukan pesan dari musim depan,
membuat
gigil dan gigis geraham.
Angin
bergerak mendekat,
megetuk
pintu-pintu rumah dan hati,
dan
lalu masuk tanpa permisi,
tak
ada sepatahkatapun yang terucap,
hanya
dingin yang menyerang seketika,
menembus
kulit-kulit dewasa, juga renta nan tua.
Angin
bergerak melambat,
pertanda
musim ini akan menyeberang,
menyuruh
manusia bersiap sambuti tamu,
yang
akan datang bersama lelahnya angin,
selama
enam bulan ke depan bersemayam,
merubah
suasana hati, cinta, juga segala.
Lamsel,
April 2018
Sebelum Perhitungan
Semua orang terjaga,
Di jalan ramai suara
Jalan yang selama ini tak pernah disentuh
Oleh kata dari cerita-cerita,
Pada malam yang tetap akan menjadi tempat berpesta
Di tenda itu, malam penuh pendar lampu
Penuh perjanjian dengan botol-botol
Remi ikut diputar dalam lingkar kecil
Yang di setiap jalan tanyanya
Menyisakan gemericik tawa
Dalam langkah-langkah menuju penghabisan
Sementara menjelang fajar
Siul nyamuk dan kokok ayam
Menandai dimulainya hidup
Yang akan penuh perhitungan
Dan persaksian
TPS 09, Cintamulya, April 2019
Jalanan Lengang di Kotaku
Hampir sampai puncak malam,
dan hanya ada suara derik
dari jangkrik yang membenci keheningan
Laju langkah menuju pagiku
semakin melambat,
meski jalanan sedang lengang.
sedang di kotaku jalanan pagi
pasti tumpat oleh akad-akad yang menjerat
aku tak tahu, apakah aku bisa
sampai ke rumah sebelum,
jalanan benar-benar macet
dan aku benar-benar terjebak dalam kubangan
karena, yang aku tahu
jalanan lengang ini adalah tempat
para pemain mempersiapkan
keserakahan, dalam ambisi dan jalang mimpi-mimpinya
April 2019
Pesta
Disebut ritus tak ada juntrungan,
disebut virus tak menahu tularan.
Begitu pula padaku
entah bukan, entah sama,
tak ada hari seperti pesta,
yang jadi perhelatan besar setiap malam.
Seketika hanyut saja
menyelam, menyusur arus angin malam,
di bawah lilin temaram, di atas meja kembang hiasan.
Suka-suka Tuhan, mau dipenggalpun kuterima,
asal jangan rahmatNya saja dipetus,
buatku.
Sampai akhirnya irama jingkrak terpendam,
masih saja anggurku bergelimang.
Oh. Tuhanku.
Ampuni, ampuni. aku terbeku dalam setan
Ampuni, ampuni. yang menjalarkan aroma hutan
Ampuni, ampuni. aku lepas dari ikatan
Oh, ampuni aku Tuhan
Lampung, 17 Februari 2019
Komentar
Posting Komentar