Langsung ke konten utama

Puisi Imam Khoironi di Riau Pos Edisi Ahad, 14 Juli 2019


Puisi Imam Khoironi
Belajar Membaca Puisi

Kubaca puisimu,
saat petus menggelegar
Dan awan memenjara bintang-bintang
Angin nampak gusar
Menjemput burung-burung
Lonceng gereja berdentang, langit menggerutu
Wahai Rendra, mengapa orang menyebutmu merak?

Kubaca sajak-sajakmu,
ketika hujan menelanjangi anak-anak
Dan membungkus udara dengan sendu
Selokan yang penuh lumpur
Berubah menjadi dapur bagi katak
Rendra, tiadakah wajah lain burung merak?

Kubaca puisimu,
saat jam di tangan menyebut sore
Dan detak kegelisahan menggerai
Rasa rindu membelit, menganyam
Pohon akasia di depan surau bergoyang kegelian
Wahai Rendra, mungkinah puisi ini seindah ekor burung merak?

Lampung, April 2019


Belajar Merindu

di jauh yang kau selamat jalan
di jarak yang engkau merindu
ada tempat, yang disana kata tak lagi bersemayam
hanya berhunikan rasa dan suara,
suara yang memanggil namaku
rasa yang menggenangi hatimu

di jalan yang engkau menangis
di singgah yang engkau terluka
ada tempat yang ku temukan
yang di sana cinta tak lagi gairah

rindu kita hanya menunda pertemuan
maka sematkan namaku, dalam tiap-tiap doamu,
biar nanti ku jenguk engkau dalam mimpimu
pun akan aku sematkan namamu dalam doaku,
biar aku bisa sampai dalam mimpimu

Cintamulya, Desember 2018


Yang Lebih Gampang dari Memutus Rindu

Apakah bila hujan kupotong rintik berantainya,
langit akan berhenti menangis?
Apakah bila rindu ini kupenggal sumbu rasanya,
ia akan mati dan tidak mengganggu lagi?
Aku rasa tidak semudah itu.
Bahkan bila terjadipun,
akan lebih gampang memenggal kepalamu,
daripada memutus rantai hujan
dan membunuh rindu

Titiwangi, 10 Maret 2019



Sebelum Pulang

Sebelum petang menjejalkan segala kegelapan
Sebelum ragaku tersungkur di atas ranjang dan
jiwaku terbelam di kubangan
maka sentuhlah mataku dengan seluruh rindu yang jalang
ikat pula naifku dengan
setiap kemungkinan menemuimu hari ini

Lampung, April 2019



Mengecap Rasa Laut

dalam gemuruh langit
kutautkan setiap rasa yang ada
meski tiba-tiba hujan urung menyentuhku
dan membasahi tubuh kita
yang sudah tidak bercelana

apakah hatimu angin
yang kacau setelah bulan purnama
tinggal di laut?

apakah tubuhmu api
yang melebur diri sendiri
setelah Tuhan membangunkan jasad?

ketika tumbuhmu di ujung kelelahan,
aku bersumpah,
lautan akan menjadi tempat paling
bersjarah, di sana rasaku akan kutaruh
dan semoga abadi bersama riuh gemuruh
debur nafasmu

Mei 2019 

Berawal di Gereja, Bermuara di Surau

cintaku tersesat di altar gereja,
lonceng saat itu berdentang
dengan sekeras baja
padahal hari itu jumat
dan pagi-pagi dalam kamusku bukanlah al-kitab (bibel)

semua ragaku, akan aku rebahkan
di atas api yang bergaram,
dan tubuhmu ada di sampingku mengucap dua kalimat
syahadat, di hadapan seluruh bapak dan bunda,
mungkin, disaksikan oleh yesus yang sedang melebur
dosanya sendiri, dan dosa-dosa lain
sebab kau tak lagi digembalanya

kubiarkan air matamu mendera bedak dan gincu
kubiarkan gaunmu basah karena keringat
sebab tempat kita sekarang adalah,
tungku pembakaran dosa-dosa, yang pernah
aku dan kita lakukan,
begitu pula memang surau ini tak lagi punya daya
memutar kipas angin dan membukakan jendela

Mei 2019



Muson

Angin bergerak cepat,
menembus bilik-bilik rumah dan merasuk,
menyelinap masuk lebih dalam,
membawa pesan dari masa depan,
mengirimkan dengan dinginan kejap.

Angin bergerak tepat,
mengitari rumah-rumah dan kemah-kemah,
menyampaikan salam tak terdengar,
akan memberitahukan pesan dari musim depan,
membuat gigil dan gigis geraham.

Angin bergerak mendekat,
megetuk pintu-pintu rumah dan hati,
dan lalu masuk tanpa permisi,
tak ada sepatahkatapun yang terucap,
hanya dingin yang menyerang seketika,
menembus kulit-kulit dewasa, juga renta nan tua.

Angin bergerak melambat,
pertanda musim ini akan menyeberang,
menyuruh manusia bersiap sambuti tamu,
yang akan datang bersama lelahnya angin,
selama enam bulan ke depan bersemayam,
merubah suasana hati, cinta, juga segala.

Lamsel, April 2018


Sebelum Perhitungan

Semua orang terjaga,
Di jalan ramai suara
Jalan yang selama ini tak pernah disentuh
Oleh kata dari cerita-cerita,
Pada malam yang tetap akan menjadi tempat berpesta

Di tenda itu, malam penuh pendar lampu
Penuh perjanjian dengan botol-botol
Remi ikut diputar dalam lingkar kecil
Yang di setiap jalan tanyanya
Menyisakan gemericik tawa
Dalam langkah-langkah menuju penghabisan

Sementara menjelang fajar
Siul nyamuk dan kokok ayam
Menandai dimulainya hidup
Yang akan penuh perhitungan
Dan persaksian

TPS 09, Cintamulya, April 2019 

Jalanan Lengang di Kotaku

Hampir sampai puncak malam,
dan hanya ada suara derik
dari jangkrik yang membenci keheningan

Laju langkah menuju pagiku
semakin melambat,
meski jalanan sedang lengang.
sedang di kotaku jalanan pagi
pasti tumpat oleh akad-akad yang menjerat

aku tak tahu, apakah aku bisa
sampai ke rumah sebelum,
jalanan benar-benar macet
dan aku benar-benar terjebak dalam kubangan

karena, yang aku tahu
jalanan lengang ini adalah tempat
para pemain mempersiapkan
keserakahan, dalam ambisi dan jalang mimpi-mimpinya

April 2019



Pesta

Disebut ritus tak ada juntrungan,
disebut virus tak menahu tularan.
Begitu pula padaku
entah bukan, entah sama,
tak ada hari seperti pesta,
yang jadi perhelatan besar setiap malam.

Seketika hanyut saja
menyelam, menyusur arus angin malam,
di bawah lilin temaram, di atas meja kembang hiasan.

Suka-suka Tuhan, mau dipenggalpun kuterima,
asal jangan rahmatNya saja dipetus,
buatku.

Sampai akhirnya irama jingkrak terpendam,
masih saja anggurku bergelimang.
Oh. Tuhanku.
Ampuni, ampuni. aku terbeku dalam setan
Ampuni, ampuni. yang menjalarkan aroma hutan
Ampuni, ampuni. aku lepas dari ikatan
Oh, ampuni aku Tuhan

Lampung, 17 Februari 2019

Komentar

Populer

Puisi -puisi Imam Khoironi di Radar Malang

Edisi Minggu, 7 Juli 2019 Menunggu Kepulangan Ayah hari sudah hampir penuh dengan peluh dan lelah membasahi tiap-tiap doaku, saat melangkah menuju surau yang jaraknya melaju ke ujung kesunyian dan kau pun belum juga ingat waktu dan masih mencangkuli ladang citaku setelah matahari mengucapkan sampai jumpa dengan pepohonan dan bulan menyampaikan selamat jalan pada dunia yang ramai di desa kau baru ingat kalau rumah ini punya dunianya sendiri dan juga butuh apimu Lampung, Juni 2019 Menunggu Ibu Pulang tak seperti waktu yang biasa mengalir di sela-sela jemarimu kepergianmu yang berselamat pagi pada embun itu tak pernah mendapat sambutan cahaya pagi lembar demi lembar rindu terus menumpuk, tumbuh dari daun-daun kasihmu yang perlahan gugur di taman surga waktu yang tak kunjung menemui buntu sedangkan kepulanganmu selalu kutunggu di taman yang embun itu menetes dari bunga askh yang tak bisa mengharumi rumah kita Lampung,

Cerpen "Hakikat Hujan" (Kabar Madura-Senin, 17 Juni 2019)

Hakikat Hujan Matahari bersinar terik hari ini. Sinarnya menembus kulit sampai ke darah. Namun itu semua tak sedikitpun mengurangi semangat Mak Tinah dan kawan-kawannya bekerja menanam padi di sawah milik Dul Hasan, petani muda yang sangat sukses. Sementara dari jauh nampak seorang pemuda, berlari melewati tanggul kali menuju sawah milik Dul Hasan, larinya seperti anak kecil, sering kali dia terpeleset dan jatuh lalu bangkit lagi, menjadi bahan tertawaan para petani di sekitar tanggul. Dia Dul Rohim adik dari Dul Hasan yang masih berusia 18 tahun, lebih muda 5 tahun dari kakaknya. Dia berlari sambil berteriak, memanggil-manggil Mak Tinah yang sedang menanam padi di sawah. “Mak Tinah... Mak Tinah...” begitu ia memanggil wanita paruh baya yang sudah lama ditinggal mati suaminya, dan kini hidup sendiri setelah anak perempuan satu-satunya merantau ke kota. Mak Tinah melihat Rohim dengan heran, seperti ada sesuatu yang sangat ingin disampaikan Rohim sampai-sampai ia mau lari-

Puisi Imam Khoironi_Bangka Pos Edisi 8 September 2019

Mendengarkan Ricik air terbenam di wadah-wadah mendung Suaranya serupa semilir angin Menepuk daun jati yang gugur Di muka kemarau Takdir memelukku erat Hingga biduk yang kunanti tiba Aku hanya mendengarkan suara gerimis Lampung, Juli 2019 Senandung Maka beri tahu aku Ihwal lagu itu Di kalbumu senyap saja Tampak tubuhmu tak lagi menyanyi Sampai senja menelan apa saja Yang berderap di muka kota Aku tak lagi mendengar angin Yang dahulu bersemayam di lagumu Lampung, Juli 2019 Angin dan Pohon /I/ Namun sampai bila juga Hatiku akan menjemput keniscayaan Di dalam ruh yang bertebaran Kutahu angin membawa namamu Bayangmu pasti kerlip bintang, Atau teka-teki tentang pelangi Akankah ia muncul bersama gerimis Yang melambai pada berkas cahaya? /II/ Lalu sampailah kita Tanpa pertanyaan dan jawaban apa-apa Kehendak hanya datang Ia tak pernah pulang Hingga satu ketika waktu membuka Setiap rahasia dari lagumu Atau mungkin juga angin Bertengger di pepohonan