Langsung ke konten utama

Puisi-Puisi Imam Khoironi di Malang Post Minggu, 30 Juni 2019

Negeri Bulan Mei

Ini tentang Mei, bukan soal Budi Utomo
Ataupun hujan yang pelan-pelan lindap;
Takut pada Juni

Ini tentang Mei, yang separuhnya bermandi api
Meski pada separuh mula, ia hujan-hujanan pada April

Ini tentang Mei, jalanan yang sedari dulu
Selalu penuh debu dendam dan deru ambisi;
Ini juga tentang Mei, api yang tak kunjung
Padam, didera tangis di banjiri jeritan

Ini tentang Mei, yang setiap tahun
Berbaju api, berwajah besi
Ini negeri bulan Mei.

Lampung Mei 2019

Takut Air Hujan

hujan membunuh hiruk pikuk
di jalan kota
hanya ada tukang bakso keliling
ting, ting, ting
dia masih berjualan meski sudah
basah kuyup motor si tukang bakso
alangkah liar pikiran si tukang bakso
dia berhenti
memasang payung di atas motor
untuk memayungi bakul yang menggigil terlalu kedinginan
dan baksonya terlalu takut air hujan
sedang dirinya masih memukul mangkok
membaca mantra penghenti hujan
dia nampak sangat kedinginan

Lampung, Mei 2019

Tak Ada yang Lebih

tak ada peraduan yang lebih indah
dari puisi yang kutulis
saat berada di pasar kota ini

tak ada doa yang lebih khusyuk
dari puisi yang kubaca
saat bersamamu di beranda rumah ini

sekali pun kau mengerti, aku tak pernah
pergi ke pasar dan
aku tak pernah membaca apa pun
saat berada di sampingmu

Lampung, Mei 2019

Nyanyian Akar Rindu

Harusnya, sehabis aku pulang
seluruh rinduku senyap, ruh puisiku
tak lagi merasuk pada malam-malam
yang penuh pengabdian
dan kenaifan para buruh doa

Tapi, pulangku kini berbeda
sebab, setiap memandang rona bulan
rinduku berdebur pasang-surut
menuju sudut kenangan itu

Lampung, 2019
  
Angin Macam Apa?

Angin mendekap erat jiwaku
dengan penuh gairah pertumpahan
darah dan waktu
yang terus melaju
dalam peperangan

Jalanan sudah semakin penuh debu
di udara dan hati
mereka para pengendara ambisi
menentang jalan lama
di separuh pertempuran

Aku masih diam di sini
bukan takut, tapi
aku tak tahu, angin macam apa
yang telah melilit tulang belulangku

Hanya ada dua jalan
maju dan mati atau pulang dan mati
namun entah angin macam apa
yang membuatku memilih,
maju dan
hari ini aku masih menghirup
angin macam apa.

Lampung, Mei 2019

Komentar

Populer

Puisi -puisi Imam Khoironi di Radar Malang

Edisi Minggu, 7 Juli 2019 Menunggu Kepulangan Ayah hari sudah hampir penuh dengan peluh dan lelah membasahi tiap-tiap doaku, saat melangkah menuju surau yang jaraknya melaju ke ujung kesunyian dan kau pun belum juga ingat waktu dan masih mencangkuli ladang citaku setelah matahari mengucapkan sampai jumpa dengan pepohonan dan bulan menyampaikan selamat jalan pada dunia yang ramai di desa kau baru ingat kalau rumah ini punya dunianya sendiri dan juga butuh apimu Lampung, Juni 2019 Menunggu Ibu Pulang tak seperti waktu yang biasa mengalir di sela-sela jemarimu kepergianmu yang berselamat pagi pada embun itu tak pernah mendapat sambutan cahaya pagi lembar demi lembar rindu terus menumpuk, tumbuh dari daun-daun kasihmu yang perlahan gugur di taman surga waktu yang tak kunjung menemui buntu sedangkan kepulanganmu selalu kutunggu di taman yang embun itu menetes dari bunga askh yang tak bisa mengharumi rumah kita Lampung,

Cerpen "Hakikat Hujan" (Kabar Madura-Senin, 17 Juni 2019)

Hakikat Hujan Matahari bersinar terik hari ini. Sinarnya menembus kulit sampai ke darah. Namun itu semua tak sedikitpun mengurangi semangat Mak Tinah dan kawan-kawannya bekerja menanam padi di sawah milik Dul Hasan, petani muda yang sangat sukses. Sementara dari jauh nampak seorang pemuda, berlari melewati tanggul kali menuju sawah milik Dul Hasan, larinya seperti anak kecil, sering kali dia terpeleset dan jatuh lalu bangkit lagi, menjadi bahan tertawaan para petani di sekitar tanggul. Dia Dul Rohim adik dari Dul Hasan yang masih berusia 18 tahun, lebih muda 5 tahun dari kakaknya. Dia berlari sambil berteriak, memanggil-manggil Mak Tinah yang sedang menanam padi di sawah. “Mak Tinah... Mak Tinah...” begitu ia memanggil wanita paruh baya yang sudah lama ditinggal mati suaminya, dan kini hidup sendiri setelah anak perempuan satu-satunya merantau ke kota. Mak Tinah melihat Rohim dengan heran, seperti ada sesuatu yang sangat ingin disampaikan Rohim sampai-sampai ia mau lari-

Puisi Imam Khoironi_Bangka Pos Edisi 8 September 2019

Mendengarkan Ricik air terbenam di wadah-wadah mendung Suaranya serupa semilir angin Menepuk daun jati yang gugur Di muka kemarau Takdir memelukku erat Hingga biduk yang kunanti tiba Aku hanya mendengarkan suara gerimis Lampung, Juli 2019 Senandung Maka beri tahu aku Ihwal lagu itu Di kalbumu senyap saja Tampak tubuhmu tak lagi menyanyi Sampai senja menelan apa saja Yang berderap di muka kota Aku tak lagi mendengar angin Yang dahulu bersemayam di lagumu Lampung, Juli 2019 Angin dan Pohon /I/ Namun sampai bila juga Hatiku akan menjemput keniscayaan Di dalam ruh yang bertebaran Kutahu angin membawa namamu Bayangmu pasti kerlip bintang, Atau teka-teki tentang pelangi Akankah ia muncul bersama gerimis Yang melambai pada berkas cahaya? /II/ Lalu sampailah kita Tanpa pertanyaan dan jawaban apa-apa Kehendak hanya datang Ia tak pernah pulang Hingga satu ketika waktu membuka Setiap rahasia dari lagumu Atau mungkin juga angin Bertengger di pepohonan