Langsung ke konten utama

Puisi Imam Khoironi di Denpasar Post Edisi 28 September 2019

Kepada Puisi

Kepada puisi, yang ramah dan (tak) mengenal patah hati
Kukabarkan harapan dan kemungkinan
Mengenai hal-hal dalam dua bulan penuh penantian

Kepada puisi, yang tulus dan mencintai sunyi
Sepenuh hati dan ketahuilah
Bahwa separuh doaku adalah padamu
Dan mengenalimu adalah suatu kesucian

Kepada puisi, yang menjelma seorang peri
Malam sudah kuputuskan untuk menanggalkan bintang-bintang
Dan berilah aku mantra sebagai bekal
Dalam tujuanku menghabiskan sisa usia
Yang kosong dalam perjalananku menuju kematian

Lampung, Juni 2019


Kabar dari Kota

Sudah datang kepadaku
Melalui surat kabar dan pesan singkat
Sebuah berita tentang kemalangan.

Lama, jarak yang harus ia tempuh
Dalam sebuah pengembaraan di jalan terjal
Tempatku akan menjejakkan kaki
Sebagai pecundang

Di manakah detak nadiku. Begitu jeritanmu
Pertanyaan tentang bagaimana kabar
Kawan-kawan kita yang gugur di pabrik
Menjadi kembang musim hujan yang tunduk pada fajar
Menyesakki jalan menuju musim kemarau

Sampaikah ia atau mereka atau siapa saja
yang datang dari desa,
di kota tempat pak menteri memakai jas dan sarapan nasi padang?

Dan surat kabar menjawabnya dengan penuh kemalangan.

Lampung, Juni 2019


Kisah Seorang Pencopet

seorang pencopet muda mendatangi kerumunan
di sebuah pesta kerajaan
mengendus saku celana
dan mengambil beberapa kenangan
dengan cepat dan penuh kesunyian
namun pencopet itu kalah sunyi dengan kerinduan
pencopet itu ketahuan
pencopet itu lari dan terjengkang
di kubangan ketakutan
ketakutan akan pukul dan hardikan
dia bersembunyi di balik pertemuan
gedung kantor dan perumahan
pencopet itu selamat dari amukan
ia masuk ke gudang
dan abadi dibui bersama puluhan dompet
dan banyaknya kenangan di dalamnya

Lampung, Juni 2019


Cerita dari Kampung Halaman

Aku duduk, tapi tidak bersanding
Dengan piil pesenggighi, maupun sigegh sai batin
Sebab aku bukan ulun tapi wong

Di kampungku, suatu masa:
Radin Inten lagi berpantun
Menasihati Imba Kesuma
Cangget dan bedana disuguhkan
Di hadapan rumah sesat agung

Para raja dan datuk-datuk negeri seberang
berseri dan bersorak semarak

muli-meghanai berjumpa, bertatap muka
menari sama-sama hingga tumbuhlah jatuh cinta
bersemi di laut, kaki gunung Rajabasa

Lampung selatan, April 2019

Komentar

Populer

Puisi -puisi Imam Khoironi di Radar Malang

Edisi Minggu, 7 Juli 2019 Menunggu Kepulangan Ayah hari sudah hampir penuh dengan peluh dan lelah membasahi tiap-tiap doaku, saat melangkah menuju surau yang jaraknya melaju ke ujung kesunyian dan kau pun belum juga ingat waktu dan masih mencangkuli ladang citaku setelah matahari mengucapkan sampai jumpa dengan pepohonan dan bulan menyampaikan selamat jalan pada dunia yang ramai di desa kau baru ingat kalau rumah ini punya dunianya sendiri dan juga butuh apimu Lampung, Juni 2019 Menunggu Ibu Pulang tak seperti waktu yang biasa mengalir di sela-sela jemarimu kepergianmu yang berselamat pagi pada embun itu tak pernah mendapat sambutan cahaya pagi lembar demi lembar rindu terus menumpuk, tumbuh dari daun-daun kasihmu yang perlahan gugur di taman surga waktu yang tak kunjung menemui buntu sedangkan kepulanganmu selalu kutunggu di taman yang embun itu menetes dari bunga askh yang tak bisa mengharumi rumah kita Lampung,

Cerpen "Hakikat Hujan" (Kabar Madura-Senin, 17 Juni 2019)

Hakikat Hujan Matahari bersinar terik hari ini. Sinarnya menembus kulit sampai ke darah. Namun itu semua tak sedikitpun mengurangi semangat Mak Tinah dan kawan-kawannya bekerja menanam padi di sawah milik Dul Hasan, petani muda yang sangat sukses. Sementara dari jauh nampak seorang pemuda, berlari melewati tanggul kali menuju sawah milik Dul Hasan, larinya seperti anak kecil, sering kali dia terpeleset dan jatuh lalu bangkit lagi, menjadi bahan tertawaan para petani di sekitar tanggul. Dia Dul Rohim adik dari Dul Hasan yang masih berusia 18 tahun, lebih muda 5 tahun dari kakaknya. Dia berlari sambil berteriak, memanggil-manggil Mak Tinah yang sedang menanam padi di sawah. “Mak Tinah... Mak Tinah...” begitu ia memanggil wanita paruh baya yang sudah lama ditinggal mati suaminya, dan kini hidup sendiri setelah anak perempuan satu-satunya merantau ke kota. Mak Tinah melihat Rohim dengan heran, seperti ada sesuatu yang sangat ingin disampaikan Rohim sampai-sampai ia mau lari-

Puisi Imam Khoironi_Bangka Pos Edisi 8 September 2019

Mendengarkan Ricik air terbenam di wadah-wadah mendung Suaranya serupa semilir angin Menepuk daun jati yang gugur Di muka kemarau Takdir memelukku erat Hingga biduk yang kunanti tiba Aku hanya mendengarkan suara gerimis Lampung, Juli 2019 Senandung Maka beri tahu aku Ihwal lagu itu Di kalbumu senyap saja Tampak tubuhmu tak lagi menyanyi Sampai senja menelan apa saja Yang berderap di muka kota Aku tak lagi mendengar angin Yang dahulu bersemayam di lagumu Lampung, Juli 2019 Angin dan Pohon /I/ Namun sampai bila juga Hatiku akan menjemput keniscayaan Di dalam ruh yang bertebaran Kutahu angin membawa namamu Bayangmu pasti kerlip bintang, Atau teka-teki tentang pelangi Akankah ia muncul bersama gerimis Yang melambai pada berkas cahaya? /II/ Lalu sampailah kita Tanpa pertanyaan dan jawaban apa-apa Kehendak hanya datang Ia tak pernah pulang Hingga satu ketika waktu membuka Setiap rahasia dari lagumu Atau mungkin juga angin Bertengger di pepohonan