Langsung ke konten utama

Langkah-langkah Menulis di Media Masa

Selama 8 tahun menulis, banyak sekali pertanyaan templat dari orang-orang. Beberapa di antaranya adalah : "Gimana sih caranya tulisanmu terbit di media?" dan "Nulis di media itu ada honornya enggak?" Melalui tulisan ini, saya berikrar akan menjawabnya. Tapi ada syaratnya, kalau tulisan ini membawa manfaat untukmu kamu wajib membagikannya ya. Kalau menurutmu gak ada manfaat, sila tinggalkan komentar (no SARA okay).

Apa yang pertama kali harus disiapkan penulis supaya tulisannya terbit di media? Jawabannya adalah niat, yap niat. Kamu gak perlu repot-repot datang ke kafe, bawa laptop, pesan americano atau cappuccino. Kamu cukup niat dalam hati kalau kamu mau menulis. 

Hal kedua adalah, siapkan camilan, eh bukan bukan, maksudku tulisan. Kalau kamu sudah siap niat, mau punya camilan atau enggak, mau ada kopi atau enggak, kamu akan tetap menulis. Karena kalau kamu enggak punya tulisan, apa yang mau dikirim ke media? Kamu mau kirim email kosong? (Aku pernah sih, memang pekok ya 😄)

Tulisannya apa? Terserah! Puisi boleh, cerita pendek boleh, esai boleh, berita boleh, resensi boleh, curhat pun boleh. Asal jangan kirim RUU aja ya, kalau yang itu kirim ke DPR aja biar ada kegiatan🥱. Kalau sudah punya tulisan lalu apa? Santai bro, aku jelasin di bawah ini ya!

Puisi

Kumpulkan 5-10 judul puisi dalam satu fail.

Tema, topik, dan genre bebas, hindari unsur SARA mau pun pornografi.

Format penulisan puisi : Judul - Isi - Titimangsa (tanggal dan tempat ditulisnya puisi).

Tulis dalam font TNR (Times New Roman) ukuran 12 spasi 1,5 (Judul puisi bisa kamu tebalkan atau perbesar ukurannya).

Di akhir halaman sertakan biodata narasi. Isinya terserah, pastikan pakai namamu jangan pakai nama kucingmu, ya. Boleh sertakan juga alamat sosial mediamu.

Cerpen

Siapkan satu saja, gak usah banyak-banyak. Kirim satu aja belum tentu dibaca sampai habis sama redakturnya wkwkwk.

Formatnya hampir sama dengan puisi, titimangsa opsional. Selebihnya mirip dengan ketentuan puisi di atas.

Sertakan biodata narasi.

Esai/Artikel

Sama aja seperti cerpen, hanya saja perhatikan tata bahasa, kaidah penulisan, gaya tulisan dan kalau bisa angkat isu yang terbaru. Isu yang lama boleh, asalkan konteksnya masih relevan.

Resensi

Hampir sama dengan artikel dan esai, hanya saja sertakan juga gambar sampul (cover) buku yang kamu resensi. Buku yang mau diresensi pun bebas. Kamu boleh meresensi buku pelajaran, buku sastra, buku biografi, buku apa saja yang penting jangan buku nikah apalagi buku utang! Eh sama satu lagi, buku dosen yang kamu dipaksa beli kalau tidak kamu enggak akan lulus, itu juga jangan. Nanti tersinggung kamu bisa dapat nilai D.

Berita

Aku kurang faham soal berita karena belum pernah mengirimkannya. Tapi sepertinya hampir sama dengan esai atau artikel. Hanya saja harus memenuhi unsur 5W + 1H.

Nah, gimana, sudah faham belum? Sekarang, kalau sudah tahu langkah-langkah mempersiapkan tulisan untuk dikirim ke media. Artinya tinggal kita memilih media mana yang akan kita tuju. Selain itu kita juga harus mempersiapkan mental dan kesabaran. Karena masa tunggu sebuah media berbeda-beda. Ada yang 1 bulan, 2 bulan bahkan ada yang 1 tahun, bergantung pada banyaknya naskah yang masuk ke pihak redaksi media tersebut. 

Nah, untuk langkah terakhir itu nanti akan disajikan dalam tulisan selanjutnya, ya. Jangan marah, bukan karena aku mau memperbanyak tulisan (walaupun itu salah satu alasannya) tapi karena bagian itu pun sama panjangnya dengan bagian ini. Jadi, mohon bersabar, ya. Wkwkwk.

Di bagian selanjutnya nanti akan aku bagikan media-media mana saja yang mau menerima tulisanmu. Lengkap dengan alamat emailnya, serta sedikit ulasan mengenai karakteristik dan selera redaksinya. Dah gitu aja dulu. 


Komentar

Populer

Puisi -puisi Imam Khoironi di Radar Malang

Edisi Minggu, 7 Juli 2019 Menunggu Kepulangan Ayah hari sudah hampir penuh dengan peluh dan lelah membasahi tiap-tiap doaku, saat melangkah menuju surau yang jaraknya melaju ke ujung kesunyian dan kau pun belum juga ingat waktu dan masih mencangkuli ladang citaku setelah matahari mengucapkan sampai jumpa dengan pepohonan dan bulan menyampaikan selamat jalan pada dunia yang ramai di desa kau baru ingat kalau rumah ini punya dunianya sendiri dan juga butuh apimu Lampung, Juni 2019 Menunggu Ibu Pulang tak seperti waktu yang biasa mengalir di sela-sela jemarimu kepergianmu yang berselamat pagi pada embun itu tak pernah mendapat sambutan cahaya pagi lembar demi lembar rindu terus menumpuk, tumbuh dari daun-daun kasihmu yang perlahan gugur di taman surga waktu yang tak kunjung menemui buntu sedangkan kepulanganmu selalu kutunggu di taman yang embun itu menetes dari bunga askh yang tak bisa mengharumi rumah kita Lampung,

Cerpen "Hakikat Hujan" (Kabar Madura-Senin, 17 Juni 2019)

Hakikat Hujan Matahari bersinar terik hari ini. Sinarnya menembus kulit sampai ke darah. Namun itu semua tak sedikitpun mengurangi semangat Mak Tinah dan kawan-kawannya bekerja menanam padi di sawah milik Dul Hasan, petani muda yang sangat sukses. Sementara dari jauh nampak seorang pemuda, berlari melewati tanggul kali menuju sawah milik Dul Hasan, larinya seperti anak kecil, sering kali dia terpeleset dan jatuh lalu bangkit lagi, menjadi bahan tertawaan para petani di sekitar tanggul. Dia Dul Rohim adik dari Dul Hasan yang masih berusia 18 tahun, lebih muda 5 tahun dari kakaknya. Dia berlari sambil berteriak, memanggil-manggil Mak Tinah yang sedang menanam padi di sawah. “Mak Tinah... Mak Tinah...” begitu ia memanggil wanita paruh baya yang sudah lama ditinggal mati suaminya, dan kini hidup sendiri setelah anak perempuan satu-satunya merantau ke kota. Mak Tinah melihat Rohim dengan heran, seperti ada sesuatu yang sangat ingin disampaikan Rohim sampai-sampai ia mau lari-

Puisi Imam Khoironi | Bali Pos

Sumpah Seorang Pemuda Kepada Ibunya Ibu. Aku bersumpah demi yang lebih tinggi Dari bendera dan   apa saja Tanahmu, akan kujadikan tempat kuburku Meredam panas darahku Ibu. Aku bersumpah demi penguasa kehendak Dan kehendak itu sendiri Nasibku biar jadi misteri Semoga menjadi jati diri Ibu. Aku bersumpah demi penyair paling merdeka Dan paling berkuasa di jaga raya Puisi ini kutulis tanpa bahasa apa-apa Kecuali ini bahasamu, Ibu. Way Halim, 28 Oktober 2019 Menggambar Pohon Bagi kami: Yang membalut napas dengan debu kering tanah lapang Retak dan merekah seperti bunga di pertengahan musim semi Serta tidak lupa mengantar doa menuju langit melalui lampion-lampion Juga mantra-mantra yang tak lagi kudus Mencari jalan setapak untuk menemui roh Yang coba menembus langit membincangkan Pengadilan dunia pada Tuhan Ketahuilah: Akar-akar rumput sudah menembus batu Dan pohon dengan daun-daun hijau hanya ada Pada buku mewarnai anak