Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label RUANG SAJAK

Puisi -puisi Imam Khoironi di Radar Malang

Edisi Minggu, 7 Juli 2019 Menunggu Kepulangan Ayah hari sudah hampir penuh dengan peluh dan lelah membasahi tiap-tiap doaku, saat melangkah menuju surau yang jaraknya melaju ke ujung kesunyian dan kau pun belum juga ingat waktu dan masih mencangkuli ladang citaku setelah matahari mengucapkan sampai jumpa dengan pepohonan dan bulan menyampaikan selamat jalan pada dunia yang ramai di desa kau baru ingat kalau rumah ini punya dunianya sendiri dan juga butuh apimu Lampung, Juni 2019 Menunggu Ibu Pulang tak seperti waktu yang biasa mengalir di sela-sela jemarimu kepergianmu yang berselamat pagi pada embun itu tak pernah mendapat sambutan cahaya pagi lembar demi lembar rindu terus menumpuk, tumbuh dari daun-daun kasihmu yang perlahan gugur di taman surga waktu yang tak kunjung menemui buntu sedangkan kepulanganmu selalu kutunggu di taman yang embun itu menetes dari bunga askh yang tak bisa mengharumi rumah kita Lampung,

Puisi-Puisi Imam Khoironi di Malang Post Minggu, 30 Juni 2019

Negeri Bulan Mei Ini tentang Mei, bukan soal Budi Utomo Ataupun hujan yang pelan-pelan lindap; Takut pada Juni Ini tentang Mei, yang separuhnya bermandi api Meski pada separuh mula, ia hujan-hujanan pada April Ini tentang Mei, jalanan yang sedari dulu Selalu penuh debu dendam dan deru ambisi; Ini juga tentang Mei, api yang tak kunjung Padam, didera tangis di banjiri jeritan Ini tentang Mei, yang setiap tahun Berbaju api, berwajah besi Ini negeri bulan Mei. Lampung Mei 2019 Takut Air Hujan hujan membunuh hiruk pikuk di jalan kota hanya ada tukang bakso keliling ting, ting, ting dia masih berjualan meski sudah basah kuyup motor si tukang bakso alangkah liar pikiran si tukang bakso dia berhenti memasang payung di atas motor untuk memayungi bakul yang menggigil terlalu kedinginan dan baksonya terlalu takut air hujan sedang dirinya masih memukul mangkok membaca mantra penghenti hujan dia nampak sangat kedinginan Lampu

Puisi Imam Khoironi di Riau Pos Edisi Ahad, 14 Juli 2019

Puisi Imam Khoironi Belajar Membaca Puisi Kubaca puisimu, saat petus menggelegar Dan awan memenjara bintang-bintang Angin nampak gusar Menjemput burung-burung Lonceng gereja berdentang, langit menggerutu Wahai Rendra, mengapa orang menyebutmu merak? Kubaca sajak-sajakmu, ketika hujan menelanjangi anak-anak Dan membungkus udara dengan sendu Selokan yang penuh lumpur Berubah menjadi dapur bagi katak Rendra, tiadakah wajah lain burung merak? Kubaca puisimu, saat jam di tangan menyebut sore Dan detak kegelisahan menggerai Rasa rindu membelit, menganyam Pohon akasia di depan surau bergoyang kegelian Wahai Rendra, mungkinah puisi ini seindah ekor burung merak? Lampung, April 2019 Belajar Merindu di jauh yang kau selamat jalan di jarak yang engkau merindu ada tempat, yang disana kata tak lagi bersemayam hanya berhunikan rasa dan suara, suara yang memanggil namaku rasa yang menggenangi hatimu di jalan yang engkau menan

Puisi-Puisi Imam Khoironi di Kabar Madura

Edisi 31 Mei 2019 Yang Tertanggal Di suatu savana kau terdengar menyanyi Nada gubahanmu pun tersadur pada kering rumputan Musim ini kau lebih mahir menyeka hujan Yang turun hanya saat aku datang menjengukmu Sebagai rindu Cintamulya, 9 September 2018 Arti Sebenarnya Jual-Beli Orang-orang yang sedang berdesakkan mencuri kolom-kolom di ujung keheningan hanya untuk memastikan ia masih bernafas dengan tubuh yang kotor akan bunga dan daun yang membusuk Sementara di bagian lain negeri ini orang-orang menangis, berhimpitan tanpa dapat menjamah udara yang tak bisa dibagi merata dalam perebutan kekuasaan, penyebaran citra Setumpuk kebisingan, yang diracik Oleh segala kalangan. Kasta tak ubahnya tulisan dari huruf sansekerta Yang memaknai kemerdekaan, Segala pasar di negeri ini sama Kumuh dan tak ada udara Lampung, 30 Maret 2019

Puisi-Puisi Imam Khoironi di Apajake.id

Edisi Jum'at, 3 Mei 2019 Aku Lupa Menguras Kenangan setelah berakhirnya air matamu kurasa tak ada lagi yang tersisa, selain aroma wangi dari daun kemangi yang kaukunyah di tepian malam saat aku menemanimu makan di warung kota di kota ini kutaburi jutaan kemunafikan dari mulai pagi di awan, hingga sore di pelataran rambutmu rajin menyibakkan masa lalu padahal garis-garis kerinduanmu, sudah dari sejak awal pertemuan, kugunting hampir di setiap pertemuan kita, kauselalu bercerita, dalam segala ruang dan waktu, kenanganmu menggenang sebab aku lupa, untuk mengurasnya April 2019 Muktamar Rindu Pada masa laluku, ada sebuah ruangan yang begitu asing bagi tubuhku di sana serpihan rinduku bersemayam mungkin juga bersama rindumu sebagaimana puisi yang kaubaca dan fahami jika aku akan mati, maka, kusediakan ruangan yang tubuh kita tak akan mampu masuk, dan membersihkan rindu itu dan pasti, rindu akan menyukai tempat itu

Puisi-Puisi Imam Khoironi di Radar Cirebon (Kompilasi)

Edisi Sabtu, 23 Maret 2019 Membangun Musim Buat para kuli dan tukang. Di zaman yang padat tangis ini dalam negeri yang separuh penghuninya membasuh muka dengan adonan cahya matahari ternyata banyak batu bata yang menata barisan diikuti pasir dan batu terikat dalam satu simpul yang para buruh jadikan sebagai landasan hidup yang menetapkan nasib Cintamulya, 8 November 2018 Edisi Sabtu 11 Mei 2019 Hujan Musim Lalu Awan yang memekat ini, mungkin hanya menandai sebuah kejenuhan, dari langit yang setiap hari selalu menyapa bumi dengan terang kerontang Mungkin juga, jika hujan turun, ia hanya melengkapi mendung biar membekas. Lampung selatan, 2018 Edisi Sabtu, 15 Juni 2019 Definisi Laut /1/ Mengalun bergelombang bersama rasa haru Sebab air mata telah bermuara Pada deru duka para penghuni bagan Yang terperangkap kehampaan /2/ Berlayar di permukaan hati Tandas di pelabuhan luka Hab