Langsung ke konten utama

Postingan

Puisi-Puisi Imam Khoironi di Malang Post Minggu, 30 Juni 2019

Negeri Bulan Mei Ini tentang Mei, bukan soal Budi Utomo Ataupun hujan yang pelan-pelan lindap; Takut pada Juni Ini tentang Mei, yang separuhnya bermandi api Meski pada separuh mula, ia hujan-hujanan pada April Ini tentang Mei, jalanan yang sedari dulu Selalu penuh debu dendam dan deru ambisi; Ini juga tentang Mei, api yang tak kunjung Padam, didera tangis di banjiri jeritan Ini tentang Mei, yang setiap tahun Berbaju api, berwajah besi Ini negeri bulan Mei. Lampung Mei 2019 Takut Air Hujan hujan membunuh hiruk pikuk di jalan kota hanya ada tukang bakso keliling ting, ting, ting dia masih berjualan meski sudah basah kuyup motor si tukang bakso alangkah liar pikiran si tukang bakso dia berhenti memasang payung di atas motor untuk memayungi bakul yang menggigil terlalu kedinginan dan baksonya terlalu takut air hujan sedang dirinya masih memukul mangkok membaca mantra penghenti hujan dia nampak sangat kedinginan Lampu

Puisi Imam Khoironi di Riau Pos Edisi Ahad, 14 Juli 2019

Puisi Imam Khoironi Belajar Membaca Puisi Kubaca puisimu, saat petus menggelegar Dan awan memenjara bintang-bintang Angin nampak gusar Menjemput burung-burung Lonceng gereja berdentang, langit menggerutu Wahai Rendra, mengapa orang menyebutmu merak? Kubaca sajak-sajakmu, ketika hujan menelanjangi anak-anak Dan membungkus udara dengan sendu Selokan yang penuh lumpur Berubah menjadi dapur bagi katak Rendra, tiadakah wajah lain burung merak? Kubaca puisimu, saat jam di tangan menyebut sore Dan detak kegelisahan menggerai Rasa rindu membelit, menganyam Pohon akasia di depan surau bergoyang kegelian Wahai Rendra, mungkinah puisi ini seindah ekor burung merak? Lampung, April 2019 Belajar Merindu di jauh yang kau selamat jalan di jarak yang engkau merindu ada tempat, yang disana kata tak lagi bersemayam hanya berhunikan rasa dan suara, suara yang memanggil namaku rasa yang menggenangi hatimu di jalan yang engkau menan

Cerpen "Hakikat Hujan" (Kabar Madura-Senin, 17 Juni 2019)

Hakikat Hujan Matahari bersinar terik hari ini. Sinarnya menembus kulit sampai ke darah. Namun itu semua tak sedikitpun mengurangi semangat Mak Tinah dan kawan-kawannya bekerja menanam padi di sawah milik Dul Hasan, petani muda yang sangat sukses. Sementara dari jauh nampak seorang pemuda, berlari melewati tanggul kali menuju sawah milik Dul Hasan, larinya seperti anak kecil, sering kali dia terpeleset dan jatuh lalu bangkit lagi, menjadi bahan tertawaan para petani di sekitar tanggul. Dia Dul Rohim adik dari Dul Hasan yang masih berusia 18 tahun, lebih muda 5 tahun dari kakaknya. Dia berlari sambil berteriak, memanggil-manggil Mak Tinah yang sedang menanam padi di sawah. “Mak Tinah... Mak Tinah...” begitu ia memanggil wanita paruh baya yang sudah lama ditinggal mati suaminya, dan kini hidup sendiri setelah anak perempuan satu-satunya merantau ke kota. Mak Tinah melihat Rohim dengan heran, seperti ada sesuatu yang sangat ingin disampaikan Rohim sampai-sampai ia mau lari-

Puisi-Puisi Imam Khoironi di Kabar Madura

Edisi 31 Mei 2019 Yang Tertanggal Di suatu savana kau terdengar menyanyi Nada gubahanmu pun tersadur pada kering rumputan Musim ini kau lebih mahir menyeka hujan Yang turun hanya saat aku datang menjengukmu Sebagai rindu Cintamulya, 9 September 2018 Arti Sebenarnya Jual-Beli Orang-orang yang sedang berdesakkan mencuri kolom-kolom di ujung keheningan hanya untuk memastikan ia masih bernafas dengan tubuh yang kotor akan bunga dan daun yang membusuk Sementara di bagian lain negeri ini orang-orang menangis, berhimpitan tanpa dapat menjamah udara yang tak bisa dibagi merata dalam perebutan kekuasaan, penyebaran citra Setumpuk kebisingan, yang diracik Oleh segala kalangan. Kasta tak ubahnya tulisan dari huruf sansekerta Yang memaknai kemerdekaan, Segala pasar di negeri ini sama Kumuh dan tak ada udara Lampung, 30 Maret 2019

Cerpen "Maling Sandal" di Medan Pos

Maling Sandal  Medan Pos, 24 April 2019 Malam yang hening diawali suara azan pertanda waktu Isya sudah datang. Malam ini adalah malam ke 25 bulan Ramadan. Memang tak terasa sudah 24 hari bulan puasa dilalui dengan penuh keberkahan, ibadah setiap hari, serta makanan enak yang dimasak oleh ibu setiap hari. Berbuka dengan kolak membuatku kembali semangat menjalankan ibadah malam ini, terutama s a lat tarawih dan tadarus Al-Qur’an di masjid dekat rumahku. Setelah berwudhu dan berganti pakaian, memakai sarung dan baju koko serta kopyah aku siap berangkat ke masjid untuk solat tarawih. “Arif, ayo kita berangkat, nanti kita terlambat!” terdengar suara dari luar kamarku, ternyata A yah memanggilku agar segera bergegas. “Iya , A yah , ” j awabku dari dalam kamar. “Pakai sandal yang lama saja, yang baru besok pakainya waktu lebaran saja,” p inta A yahku. “Memang kenapa , Y ah . Ada apa dengan sandal baruku?” t anyaku sedikit agak bingung. “Tidak ada apa-apa dengan sandal b